Selasa, 29 Mei 2012

Mathematical Love Story 3


Jantungku berdetak cepat. Ini lebih tidak karuan dari sebelumnya. Tangannya memegang tanganku. Punggungnya seperti bersinar saat matahari menerpa tubuhnya dari pintu masuk. “ Bunda!, aku pergi mengantar bunga dulu ya. “ ia berteriak sambil menutup pintu.

“ Ya, “ sahut seorang wanita dari dalam.

Aku bukan ingin ge-er atau sok kepedean. Tapi ini benar-benar membuatku bingung. Atau hanya aku yang salah paham. Sikapnya, senyumannya, semuanya tentang dirinya padaku akhir-akhir ini membuatku salah tingkah dan aku takut salah paham. Aku tidak ingin tersiksa sendirian. Aku tidak ingin perasaanku bingung sendirian.

“ Ayo naik, “ katanya sambil tersenyum.

DEG, kali ini jantungku benar-benar berhenti.
~~~###~~~

Selang beberapa hari setelah Pak Rey mengantarkanku pulang kerumah. Selama itu pula perasaanku galau tak karuan. Entah kenapa, konsentrasi ku kembali terpecah. Seharusnya tidak beginikan? Sebentar lagi aku menghadapi Ujian Akhir Nasional. Tapi perasaan galauku selalu membawa mood jelek untuk pelajaranku. Bayangkan saja, setiap belajar di rumah jantungku selalu berdetak dengan cepat dan aku justru tidak bisa konsentrasi.

Hari ini di sekolah ia mengenakan kemeja polos berwarna biru muda dengan celana hitam. Rambutnya rapi seperti biasa. Sikapnya pun tetap cool dan berwibawa. Ia memasuki kelas dengan sebundel kertas di tangannya. Sepertinya itu soal-soal matematika yang akan ia berikan kepada kami. Hahhhhh~ firasatku jelek... dia suka tiba-tiba memberikan soal latihan kepada kami.

“ Hari ini kita akan mengerjakan soal matematika yang sudah bapak ajarkan selama ini. untuk mereview lagi ingatan kalian. “

Nah benar saja, ia langsung membagikan kertas soal kepada kami. Anak-anak langsung memprotesnya, tapi mengingat sifat kerasnya yang sudah terkenal ia tidak mau ambil pusing pada protes anak-anak. “ Kerjakan, atau nilai akhir kalian jelek! “ katanya.

“ Ini susah Pak, “ protes Dedi temanku yang duduk sekitar dua baris di belakangku.

“ Semua soal ini telah kita pelajari, ingat soal-soal sederhana yang telah bapak ajarkan. Polanya hampir sama hanya saja angkanya yang berbeda.” Ia menimpali sambil terus berputar membagi kan soal.

Langkahnya semakin mendekati mejaku, semakin dekat semakin cepat pula jantungku berdetak.

“ Ini hanya lima soal, kerjakan dalam tiga puluh menit dan langsung kita bahas. “

“ YYYAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH, satu jam Pak, satu jam yaaaa “ anak-anak semakin ribut.

Hanya dalam dua puluh menit pertama aku telah menyelesaikan semua soal yang ada di kertas. Seharusnya jawabanku benar, tapi tidak menutup kemungkinan akan salah juga. Maka, sepuluh menit terakhir ku gunakan untuk memeriksa kembali jawabanku. Hanya saja kenapa mataku selalu melihat ke arahnya.

Seharusnya aku berkonsentrasi, tapi pikiranku tidak bisa fokus. Yang ada aku malah membuat banyak tulisan kecil-kecil “ Rey “, hampir separuh kertas coret-coretanku yang baru berisi tulisan nama itu. Dari yang lurus hingga yang miring-miring ga jelas.

“ Kamu sudah selesai Karin? “ tanya Hana

“ Iya, sudah.. “

“ Ehhh,,, “ Hana melirik ke arah kertas lembat coret-coretanku. “ Rey ?? “ bacanya.

Segera ku tutupi dan kulipat kertas itu. Kepergok Hana sedang menulis nama Pak Rey membuatku tidak nyaman. Ia melirikku sambil tersenyum simpul, dan dengan wajah penuh kemenangan. Teori yang ia kemukakan tempo hari di kantin bahwa “aku suka pada Pak 
Rey“ terbukti benar sekarang.

“ Sssttttss!!! “ kupelototi dia yang sekarang malah tertawa kecil.

“ Yak, waktunya habis, ayo tukar kertas kalian dengan milik teman kalian. “

“ Nanti dulu Pak, kami belum selesai... Pak, nanti dulu pak!!!!! “

“ Ayo cepat, bapak hitung sampai lima, sa-tu... “

Anak-anak mulai ribut berbagi contekan, untungnya Hana sudah selesai.

 “ Dua! Jangan ada yang mencontek. Kerjakan sendiri! Tiga! Dedi, Karla, sekarang juga tukar hasil kerjaan kalian jangan saling contek lagi! empat! “

Pak Rey mulai berjalan ketengah anak-anak dan mulai menarik – narik sendiri kertas anak-anak agar mereka menukar kertas mereka. “ LIMA! “

Bersamaan dengan berakhirnya kata lima milik Pak Rey yang menggelegar seisi kelas diam. Kemudian ia mulai membahas soal satu persatu. Seisi kelas akhirnya pasrah dengan hasilnya, untungnya ini bukan ujian akhir. Selesai membahas soal, kami mulai menghitung kesalahan teman yang kami koreksi. Hana mendapat salah satu soal di nomor terakhir karena kurang teliti menghitung. Tetapi cara pengerjaannya sudah benar.

“ Setiap soal yang benar bernilai dua. Hitung jumlah benar dan kalikan dua. “ Pak Rey memberi penjelasan cara menilai jawaban.

“ Pak, “ ku acungkan tanganku.

Mata kami bertemu pandang. Aku terdiam sesaat, begitu juga dia.

“ Ya, Karin? “ ia mendekatiku.

Ku ulangi. IA MENDEKATIKU. Dari sekian banyak anak yang bertanya di kelas tadi, hanya aku yang di datanginya. DEG DEG penyakit jantung ku kumat lagi. jangan-jangan kali ini aku akan benar-benar sakit jantung saking cepatnya jantungku berdetak.

“ Mi-milik Hana caranya benar, hanya penghitungan akhirnya saja yang salah. Kira-kira bagaimana Pak? “ aku agak terbata-bata mengajukan pertanyaan.

“ Coba kulihat. “ ia menarik kertas jawaban Hana. “ Baiklah, beri nilai satu pada jawaban ini. Sepertinya kamu sudah paham hanya saja kurang teliti dalam menghitung, lain kali harus teliti ya, Hana. “ katanya.

“ Baik Pak. “ jawab Hana

“ Berapa nilai kamu Karin? “ Tanyanya langsung.

“ Sa-saya, errr,,, Han, aku dapat berapa? “ baru saja aku ingin menarik kertas jawabanku dari Hana. Tapi tangan Pak Rey telah lebih dulu meraihnya.

“ Kamu dapat sepuluh, benar semua. “ bisik Hana

Tapi bisikan itu terasa seperti angin lalu saat kulihat senyum Pak Rey yang sedang memperhatikan kertasku. Ia tersenyum lebar, tidak seperti senyum basa-basi yang selama ini ia perlihatkan pada teman-temanku dan orang lain.

“ Bagus, “ katanya sambil menyerahkan kertasku. Ia tetap tersenyum lebar seperti itu padaku.

Bayangkan, senyum itu terus terngiang di kepalaku hingga akhir pelajaran hari ini. bahkan hingga kerumah. Seharusnya, aku membuang jauh-jauh pikiran bahwa senyum yang ia perlihatkan padaku adalah senyum yang berbeda. Setiap hari juga ia tersenyum, setiap belajar privat juga ia tersenyum. Ini tidak benar.

Aku harus menenangkan perasaanku sendiri. Aku harus sadar diri bahwa, ia menganggapku sama seperti muridnya yang lain. Mulai sekarang akan ku tanamkan dalam hatiku bahwa ia hanya salah satu guruku dan aku hanya murid biasa yang kebetulan mendapatkan kebaikan hatinya. Mulai saat ini aku harus SADAR!.
~~~###~~~

“ Akhir-akhir ini kamu banyak bengong “ kata Pak Rey padaku di akhir pelajaran privat.

“ Hah?! Apaan deh Pak? Bengong apaan? “ elakku.

“ Terus apa namanya kalau setiap di jelaskan pelajaran kamu tidak mendengarkan. “

Aku terdiam, tidak bisa menjawab. Aku bukannya bengong Pak. Aku hanya tidak bisa menatap mu, atau bahkan sebetulnya berada di dekatmu. Pikiranku terpecah belah ketempat lain. Ya ampunnnn,,, aku kan telah membuat komitmen bahwa akan menampik dan mengacuhkan perasaan ini.

“ Karin? “ ia menegurku.

“ i-iya Pak, sa-saya minta maaf. “

“ Kamu kembali kekebiasaan lamamu, bengong “

“ Bukan begitu, “ aku mencoba mengelak lagi.

“ lalu apa? “ desaknya. “ kamu juga akhir-akhir ini mengacuhkanku. Baik di sekolah atau di saat privat “

DEG-

Apaan barusan gaya bicaranya. Ia menaruh pulpennya di meja dan kali ini jelas-jelas langsung menatap kearahku. Ya ampun.... apa, apa yang harus ku lakukan? Jantungku berderu kencang dan keras. Sepertinya sebentar lagi akan copot. Atau bahkan saat ini telah benar-benar copot.

“ Kamu ada masalah? Dengan teman, atau keluarga ? “ tanyanya.

DEG-

Perhatiannya ini yang sangat ingin ku hindari. Ia memperlakukan ku seakan – akan aku adalah anak kecil yang rapuh dan perlu dilindungi. Ia  memperlakukanku seakan-akan aku adalah miliknya.

“ Katakan padaku, aku akan membantu kamu. “

Semuanya seakan meledak di hatiku. Karena logika ku menyerang dan melawan perasaanku. Logika ku berkata bahwa perhatiannya dan semua kebaikannya selama ini wajar dilakukan seorang guru ke murid, ia memang baik bagaimanapun juga. Tapi, perasaan menjadi begitu mengharapkannya. Dia menyiksaku, sangat-sangat menyiksa hatiku.

“ Jangan sok perhatian! “ ledakan dalam hatiku keluar.

Ia terkejut,  keningnya berkerut.

“  Karin?! “

Aku berdiri.

“ Aku tidak butuh perhatian basa-basi dari bapak. Kalaupun aku ada masalah, aku bisa menyelesaikannya sendiri. “

Kulangkahkan kakiku pergi. Tapi tangan kekarnya menarik lenganku.

“ Aku tidak basa-basi “ tegasnya

“ Lepaskan!. Aku, sudah cukup dipermainkan. Jika di depanku jangan jadi guru sok perhatian. Jangan membuat orang lain salah paham. Permisi! “

Tanpa membereskan buku-buku yang ada di meja aku berlari ke kamarku. Aku bertemu kakak di tangga, tapi mengacuhkannya yang sepertinya ingin berbicara sesuatu.

Ku banting pintu dengan keras lalu menuju kasurku. Hanya saja, begitu duduk di kasur, aku jadi merasa bersalah. Sangat, sangat merasa bersalah dan malu. Jangtungku berdetak hebat, nafasku berderu cepat. Genggaman tangannya masih sangat terasa.

Seharusnya aku tidak berbicara sekasar itu. Aku seharusnya tidak meledak di depannya. Akupun tidak seharusnya menolak niat baiknya.

Aduuuhhhhh, bagai mana aku bisa bertemu dengannya besok?

“ BODOH “ kupukul kepalaku sendiri.

Aku jadi sangat menyesal. Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku bercerita pada kakak, atau bahkan pada ibu. Aku malu. Aku harus minta nasehat pada siapa? Aku benar-benar butuh seseorang untuk memarahi perbuatanku. Hari itu kuhabiskan dengan perasaan galau dan bingung. Pikiranku terus memikirkan apa yang harus kulakukan besok saat bertemu dengannya. Minta maafkah? Atau berpura-pura seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Aku harus bagaimana.

Tanpa terasa air mataku mengalir sendiri. Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin dia salah paham padaku. Kalau ia membenciku gara-gara kejadian hari ini bagaimana? Perasaanku sangat tersiksa saat ini, benar-benar berat rasanya.

Hingga jam sebelas malam mataku masih terjaga. Aku sudah berbaring, tapi mataku tidak mau terpejam sedikitpun. Air mataku sudah tidak mengalir sejak makan malam tadi. Tapi mataku masih terasa bengkak. Sampai-sampai ayah, ibu dan kakak menanyaiku tadi, ku jawab saja bahwa hari ini terjadi hal yang mengesalkan di sekolah. Jadi aku menangis karena kesal. Tapi sepertinya kakak ragu dengan jawabanku, kurasa tadi sebelum pergi ia sempat berbicara dengan Pak Rey mengenai sikapku yang aneh.

Seharusnya aku menyimpan nomor ponselnya untuk berjaga-jaga jika terjadi hal seperti ini. aku bisa menelponnya dan minta maaf. Tapi apakah aku sanggup bicara sepatah kata saja meski di telepon. Biasanya kakak yang menelponnya untuk memastikan jadwal les. Apa aku minta nomornya saja ke kakak?.

Kulangkahkan kakiku kepintu dan hampir membuka pintu kamarku, tapi kuurungkan niatku. Bagaimana kalau kakak bertanya macam-macam tentang kejadian hari ini. Aku tidak bisa menjawabnya. Aku malu. Lebih baik aku tidur dan melupakan semuanya. Besok anggap saja tidak terjadi apa-apa. Dengan langkah gontai ku hampiri kasurku kembali.

Tapi, tidak! Aku harus minta maaf. Aku tidak bisa membiarkan kesalah pahaman ini. Aku harus berani. Ku langkahkan kakiku kembali ke pintu dan sudah memegangi gagangnya, sampai tiba-tiba aku sadar, ini hampir jam dua belas malam. Murid macam apa yang menelpon gurunya tengah malam begini. Ia pasti sedang istirahat. BODOH!!! Akhirnya kupaksakan mataku terpejam dan tidur.

 Hari itu sekolah terasa sangat menyiksa bagiku. Matahari yang panas sejak pagi, anak-anak yang gaduh di kelas dan Pak Rey. Aku tidak bisa menutupi kegalauan hatiku. Hana sepertinya menyadari sikap anehku hari ini, lemah, lesu dan tak bertenaga. Sebaiknya apa yang kulakukan jika bertemu Pak Rey? Baru saja memikirkannya, orangnya sudah muncul di depan ruang guru.

Ruang guru letaknya tepat berhadap-hadapan dengan kelasku jadi aku bisa melihatnya dengan jelas. AHH,, gawat ia melihat kearahku. 

Segera kulangkahkan kakiku masuk kekelas tanpa melihat lagi kearahnya. Bersamaan dengan itu bel masuk kelas berbunyi. Setidaknya aku bisa melupakannya dengan berkonsentrasi belajar. Bagaimanapun juga, prioritas utamaku adalah belajar. Meskipun perasaanku sendang galau tak karuan aku harus tetap konsentrasi untuk belajar.

Ditengah-tengah asiknya belajar akhirnya bel “ SETAN “ itu pun berbunyi. “ Kring Kring Kring “ tanda pergantian pelajaran. Pak Geri keluar kelas dan langsung digantikan oleh Pak Rey. Ia langsung masuk tanpa memberikan jeda sedetikpun pada kami para murid untuk hanya sekedar bernafas lega karena telah selesai pelajaran sebelumnya.

Wajahnya seperi biasa dingin. Tanpa senyuman saat mengajar. Tapi tatapan matanya yang berkali-kali melihat kearahku dengan tajam membuatku takut. Sepanjang pelajaran aku hanya terus menunduk menghindari matanya. Ia sering sekali memelototiku. Seharusnya aku terbiasa dengan mata itu. Karena tiap pelajaran aku memang selalu di tegurnya. Tapi, lagi-lagi rasanya tatapan matanya kali ini berbeda. Itu tatapan marah. Aku tahu dia marah padaku.

“ Karin, kamu ngantuk ya? Jangan menunduk. Ayo perhatikan Pak Rey. “ Hana menyenggolku.

“ Eh, iya Han. “

Ya ampun Hana mana mungkin aku ngantuk di saat seperti ini. yang ada saat ini perasaanku sedang kacau.

“ Aneh ya? Pak Rey berkali-kali melihat kearah sini. Tapi tidak menegur kamu. Biasanya ia langsung marah-marah. “ ujar Hana

Ah, Hana benar. Biasanya aku lengah sedikit saja ia langsung menegurku. Tapi sekarang ia terkesan cuek. Ia malah menegur murid – murid lain. Dan tidak menegurku yang jelas-jelas tidak mendengarkan pelajarannya. Aku rasa, dia benar-benar marah. Bagaimana ini?
~~~###~~~

“ Kenapa dihentikan? “ kakak terkejut mendengar permintaanku. “ bukannya nilai-nilaimu semakin bagus? “

“ Iya, tidak apa-apa kak. Aku rasa sebaiknya di hentikan, tinggal tiga minggu lagi Uan sepertinya sebaiknya aku belajar sendiri saja “

Keputusanku untuk berhenti les sudah bulat sejak kejadian dua hari lalu. Lagi pula hari ini saat jadwal les dia tidak datang. Padahal aku menunggu dengan cemas. Aku rasa dia telah benar-benar salah paham padaku. Dia pasti membenciku karena aku membentaknya.

“ Ya sudah kakak akan menelponnya sekarang. Tapi, sebenarnya kamu kenapa? “

“ Tidak ada apa-apa kak, semuanya baik-baik saja. “ aku berbohong. Semuanya tidak baik-baik saja. aku sedang merasa kacau. “Aku hanya sedang mengalami banyak tekanan dalam menghadapi UAN. Membuatku pusing.“ lanjutku.

Jam di kamar telah menunjukan pukul sepuluh saat aku masuk kamar. Entah mengapa hari ini rasanya lelah sekali menunggunya datang. 
Kata kakak tadi, dia tidak datang karena harus pergi melayat kerumah saudaranya. Tapi menurutku mungkin saja itu juga merupakan alasannya untuk tidak menemuiku. Ya sudahlah, bukankah lebih baik ku akhiri saja semuanya sebelum terlambat. Biar aku memposisikan diriku kembali menjadi murid biasa yang tidak mengetahui sisi lainnya seperti dulu.

Saat aku hampir tertidur handphone ku berbunyi, dari nomor tidak di kenal. Aku malas meladeni orang alay tidak ku kenal yang pura-pura salah sambung. Setelah ku silent langsung ku taruh handphone ku di bawah kasur. Mengganggu saja menelpon malam-malam tidak jelas. Seharusnya orang-orang alay di dunia ini di hapuskan. Sangat-sangat mengganggu.
Kehidupan beratku di sekolah di mulai. Aku berusaha untuk selalu menghindari pak Rey jika bertemu di luar kelas. Aku benar-benar tidak bisa berhadapan lagi dengannya. Ini baru satu hari. Hari-hari beratku akan berlanjut hingga satu bulan lagi. Hingga hari kelulusan tiba.

 “ AHH!!! Nomor ini lagi! “ umpatku kesal saat tau siapa yang menelponku. Rasanya nafsu makanku jadi hilang di kantin.

Nomor alay semalam yang menelponku sudah ku beri label “ Orang Alay “ agar aku tahu dan tidak mengangkatnya.

“ Ada apa Karin ? “ tanya nya.

“ Ini ada orang alay yang dari semalam menelpon terus. Semalam di catatan telponku dia telah menelponku sebanyak 34 kali. 

Bayangkan! Hari ini pagi-pagi dia menelponku hampir sepuluh kali. Dan sekarang pas istirahat juga. Ya ampun “

“ Kamu sudah mencoba bicara belum? “

“ Ahh, ga perlu, siapa lagi yang menelpon malam-malam kalau bukan nomor orang alay.

“ Siapa tahu itu orang penting. Lebih baik kamu terima dulu dan dengan tegas bilang ga mau di ganggu. “

“ biarinlah Han, “

Tiba-tiba mataku melihatnya, Pak Rey. Ia berjalan ke arah kantin. Apakah ia mau bertemu denganku. Eh. Bodoh! Jangan ge-er. Tidak mungkin kan? Mungkin ia mau pesan makanan. Para guru biasa memesan makanan dan menyuruh membawakan ke kantor. Tapi firasatku tidak enak. Akhirnya tanpa menghabiskan nasi goreng yang ku pesan aku pergi meninggalkan Hana.

“ Hana, aku mau kekamar mandi. Maaf aku duluan “

“ Eh, ya sudah, “'

Aku melangkah pergi dengan langkah yang super-super cepat. Sangat cepat. Dan benar saja ia mengikuti di belakangku dengan setengah berlari. TIDAK MUNGKIN!!!!aku jadi berlari juga.

“ Karin, tunggu!!! “ ia berteriak.

Tidak, aku tidak bisa bertemu dengannya. Begitu sampai di toilet siswi perempuan aku segera berlari ke dalam. Ia tidak akan mengejarku kan.

Tok tok tok, “ Karin buka pintunya, kita harus bicara”. katanya

Di-dia mengerjarku sampai dalam. Bodoh! Apa dia tidak malu. Ini toilet perempuan.

“ Aku mohon, kita harus meluruskan kesalah pahaman ini. “ lanjutnya

Apa maksudnya,

“ Tidak apa-apa kau tidak keluar. Sepulang sekolah aku akan menunggumu di gerbang belakang. Jangan kabur! “

Aku bisa mendengar suara langkah kakinya yang menjauh. Ia ingin bicara denganku. Kenapa ia menggoyahkan keyakinanku di saat aku telah membuat keputusan. Bodoh!!. Dia akan menunggu ku di gerbang belakang. Bagaimana ini? aku harus datang atau tidak? Dia bercanda kan? Dia tidak akan melakukannya kan?

Hingga bel istirahat selesai aku terus termenung di dalam toilet. Begitu pelajaran di mulai aku tidak bisa berkonsentrasi. Kenapa malah perasaanku jadi senang? Tunggu dulu, perasaanku jadi semakin kacau. Ku kira dia marah padaku. Tapi dia malah mengajakku bicara duluan, berarti dia tidak marahkan? Atau jangan-jangan dia sebetulnya marah dan ingin menumpahkan kekesalannya padaku sehingga 
ia mengajakku bertemu? Tidak mungkin. Jadi mana yang benar? Apa yang sebenarnya ia rencanakan?

Aku tidak bisa konsentrasi, tidak bisa. Tidak ada satupun dari pelajaran hari ini yang masuk ke otakku. Hati dan pikiranku sepenuhnya tercurahkan pada jam yang berdetak sangat-sangat cepat tapi sekaligus lambat. Aku tidak ingin bertemu dengannya tapi dalam keadaan bersamaan aku sangat ingin bertemu dengannya? Aneh sekali.

Aku tidak mau ke ge-ran dengan percaya bahwa ia menunggu ku di belakang sekolah. Hingga akhirnya aku terus duduk di kelas sampai sepi. Semua anak sudah pulang sekolah. Belum semuanya sih, tapi keadaan sekolah sudah hampir sepi. Ini sudah lewat satu jam dari waktu pulang sekolah. Hari beranjak sore. Mengingat anak kelas 3 SMA memang selalu pulang paling belakang menjelang UAN.

“ Dia tidak mungkin menunggu ku, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin “ aku mengucapkannya 
berkali-kali sambil berjalan.

“ Karin “

Dan aku melihatnya di sana sedang duduk di atas motornya. Dia memanggilku dengan bersemangat dengan senyuman maut yang lebih bersinar dari biasanya.

“ Ayo naik. “ katanya

“ Kenapa bapak menungguku, bisa saja aku tidak datangkan? “ kataku

“ Aku yakin kamu akan datang, makanya selama apapun pasti ku tunggu. Apa lagi ini Cuma sejam “

Deg,

Kata-katanya benar-benar mematikan

Aku bahkan tidak bisa lagi merasakan detak jantungku.

Begitu turun dari motor, ia melepas jaket kulitnya dan memakaikannya padaku. Seakan aku barang rapuh yang harus di lindungi. Lalu ia menepuk – nepuk jok belakang untuk mengajakku naik. Aku , aku bahkan tak bisa bergerak, seandainya ini hanya basa-basi kebaikan seorang guru pada muridnya. Aku lebih memilih tidak ingin bertemu lagi dengannya.

“ Katakan saja di sini apa yang ingin anda katakan. “ ucapku datar.

Kulepas kembali jaket yang ia pakaikan dan menyodorkan lagi padanya. “ Aku bisa pulang sendiri “.

“ Baik kita bicara di sini, “ ia menyetujui usulku tapi tidak menerima uluran jaket dariku,

Aku harus bicara apa? Aku tidak berani memulai pembicaraan mengenai kesalah pahamaman ini. Padahal aku yang ngotot untuk bicara disini. Selama hampir satu menit kami terdiam, suasana sekolah sangat sepi. Hingga bunyi desiran angin dapat ku dengar.

“ Maaf “ akhirnya ia yang mengucapkan kata-kata itu duluan.

Padahal aku sedang menyusun kalimat pertama di otakku. Tapi satu kalimat darinya memecah sebongkah es dalam dadaku. Seakan-akan kalimat itu adalah radiasi matahari yang sangat panas hingga mampu melelehkan segala kebekuan otak dan hatiku. Kenapa ia yang harus minta maaf duluan. Seharusnya aku, kan aku yang salah.

“ Saya yang minta maaf, Pak. Kemarin saya sudah membentak bapak. Saya hanya tidak tahu kenapa perasaan saya begitu ingin marah dan meledak hingga seperti itu. Maaf. “

Entah wangsit dari mana hingga aku bisa mengeluarkan kalimat selancar itu di hadapannya. Tubuhku gemetar, aku sangat takut. Entah kenapa aku takut dia mengatakan bahwa ia tidak marah dan ia akan memahamiku selayaknya guru yang baik. Aku tidak ingin mendengar kalimat itu. Jadi sebelum ia berbicara segera kusambung kalimatku.

“ Saya rasa kesalah pahaman ini selesai. Saya hanya sedang tertekan waktu itu dan pikiran saya kacau. Jadi saya sangat-sangat minta maaf. “

Ku taruh jaketnya di stang motor dan berbalik. Baru selangkah aku menjauhinya, ia menahanku dengan tangannya yang mendekapku dari belakang. Tunggu dulu, ia MEMELUKKU dari belakang.

Waktu seakan berhenti bergerak saat ini.

Jantungku rasanya telah berhenti berdetak.

Paru-paruku berhenti memompa darah.

Otakku berhenti berfikir.

APA YANG IA LAKUKAN?!

“ Apa yang- “

“ Jangan bicara lagi, “ suaranya berat di telingaku. Dekapannya semakin kencang hingga aku tidak bisa bergerak.

“ Pak, lepaskan sa- “

“ Ku bilang jangan bicara, “ katanya lagi. “ dengarkanlah baik-baik “ perintahnya.

Aku terdiam, ku coba mengatur nafasku yang setengah-setengah ini.

“ Kamu bilang waktu itu bahwa aku sok perhatian, sok basa-basi baik, mempermainkan, membuat salah paham, aku ingin mendengar penjelasanmu. “

ITU JELAS TIDAK MUNGKIN, bagaimana bisa aku bilang aku galau karena sikapnya. AHHHH,,, ya ampun Tuhan tolong aku.

“ Baiklah, Aku tidak akan memaksamu menjawabnya. Akan ku katakan bahwa semua yang kulakukan adalah tulus dari hatiku. Semua 
yang kulakukan serius, tidak ada yang main-main. Aku benar-benar memperhatikan kamu, aku ingin selalu baik padamu. “

“ Justru itu yang saya tidak inginkan! “ akhirnya kata-kataku keluar. “ Saya tidak ingin salah paham dengan semua kebaikan hati Pak 
Rey, saya sudah sangat bingung dengan semua itu. Makanya waktu itu saya marah. Pak Rey adalah guru saya jadi saya mencoba mengartikan bahwa semua kebaikan itu adalah sewajarnya. Tapi jadinya hati saya yang sakit. Jadi saya mohon lep- “
“ Cinta, “ ia menghentikan kalimatku lagi dengan satu kata. “ Jangan menganggap aku guru, jangan menganggap semua itu adalah hal sewajarnya dari guru, itu semua karena aku mencintai Karin. “

Angin, berhembus lagi dan menerpa kami yang mematung dalam keheningan. Semua kalimat pembelaan yang kususun dalam otakku luntur dalam sekejap. Semua kalimatku hilang. Saat dia mengatakan satu kalimat itu. Entah kenapa perasaan ku jadi lega seperti bisul yang telah pecah. Dia mencintaiku, dia mencintaiku, come on!, aku tidak salah dengarkan? Entah kenapa air mata kelegaan mengalir dari mataku.

“ Aku minta maaf, membuat perasaan kamu bingung. Tidak perlu menjawabnya sekarang “ ujarnya sambil melepaskan dekapannya. “ aku akan menunggunya, “ ia berbalik dan melangkah menjauhiku menuju motornya. Tapi entah kenapa tanganku bergerak sendiri menarik ujung kemejanya.

Ia menoleh dan berbalik menatap ku lagi. Aku tidak mengeluarkan kalimat apa-apa. Rasa lega dan bahagia ini bercampur aduk menjadi satu hingga aku sendiri tidak tahu mengapa melangkah mendekatinya dan memegangi kemeja bagian depannya seakan takut ia menghilang di telan angin.

Sambil menagis ku ucapkan kalimat yang begitu ingin ku keluarkan sejak sore dimana aku melihatnya tersenyum saat hari privat ku yang pertama kali “ Aku juga mencintai Pak Rey “.

Tidak ada jawaban darinya, hanya tangannya yang kembali memelukku.
~~~###~~~

Setelah berhenti menangis ia mengantarkanku pulang kerumah. Dia langsung berbicara pada kakakku bahkan ibuku yang ada di rumah.

“ Mulai hari ini saya pacarnya Karin, “ katanya tanpa merasa malu sedikitpun.

Aku yang malu dan tidak tahu harus bilang apa. Ibu dan kakak hanya tertawa kegelian tidak jelas. Ia masih di rumahku hingga hampir jam tujuh malam. Ketika mau pulang aku mengantarnya sampai pintu gerbang.

“ Hati-hati di jalan Pak Rey-, eh, Kak Rey “ ucapku

“ Sudah ku bilang selain di sekolah, panggil aku kakak. Mengerti kan?. Ayo ulangi lagi.”

“ Buat apa? Tidak perlu! “ ku tolak dengan tegas, bagaimanapun juga aku belum terbiasa memanggilnya kakak.

 “ Ya sudahlah, oh iya. Kenapa kamu tidak mengangkat telpon ku. ?

 “ Eh? Memangnya Pak-, eh, Kak Rey pernah menelponku? “ tanyaku.

 “ Aku langsung menelpon kamu setelah pulang dari melayat. Aku butuh penjelasan kenapa kamu marah dan tiba-tiba ingin berhenti belajar privat. “ kemudian ia memegang pipiku dengan kedua tangannya. “ jangan pernah membuat perasaan ku kacau seperti hari itu lagi! “ pintanya sok romantis.

 “ Iya-iya, tapi, ngomong-ngomong nomor kakak berapa? Coba telpon aku lagi “

 “ Hhhhh, “ ia menghela nafas kecewa. “ Gadis macam apa yang tidak punya nomor kekasihnya. “ ejeknya.

Ia menekan nomorku, setelah ku tunggu beberapa detik ku kira akan muncul kombinasi angka dari nomor-nomor tak dikenal. Tapi ternyata yang muncul di layar handphoneku adalah nama,

“ ORANG ALAY “

Eh!!!!!!!!
~~~tamat~~~

1 komentar:

  1. satu kata buat cerita ini "I LIKE IT" :D
    jadi kangen si "....." hehe ~esha~

    BalasHapus