Jumat, 25 Mei 2012

Mathematical Love Story 2


“ Ah Karin,ini dia gurumu. “ ucap kakak dengan berseri-seri. 

“ Perkenalkan, dia Reyhan Mahasiswa jurusan matematika tingkat empat. Tapi, rasanya kamu sudah kenal diakan? Katanya dia guru pengganti Matematika di sekolahmu selama kakaknya cuti Hamil. Pak Rey. “

Aku rasa saat ini bukan hanya tangga yang menimpaku. Tapi juga langit yang runtuh.!!!!!!

TIDAAKKKKKKK!!!!!!!

“ A-Aku, hmmm... begini,,, “ aku tidak tahu harus berkata apa. Ucapanku terbata-bata. Bahkan gerakanku sangat kikuk saat mengambil buku-buku yang berserakan.

‘ ayo sini duduk karin, “ Kakak menarik tanganku untuk duduk di sebelahnya.

Aku harus menolaknya sekarang....

“ Ya sudah aku tinggal dulu ya, “

Ketika kakak berdiri segera kutarik tangannya. Ku bawa ia jauh ke dapur agar Pak Rey tidak mendengar pembicaraan kami. Aku harus memberi tahu kakak agar menyuruhnya pulang dengan segera. Aku sama sekali tidak menyukainya! Ini gara-gara aku terlalu cepat mengiyakan usulan kakak.

“ kenapa sih?! “ kakak menarik tangannya.

“ Kak, suruh dia pulang sekarang. Aku tidak mau gurunya dia. “

“ Apa maksud kamu?! “

Ssssstttttt ... kututup mulutnya. “ Jangan keras-keras!! “

Kak Sarah langsung menjewer telingaku dengan keras. Wajahnya terlihat kesal. Memang salahku sejak awal tidak mengecek dulu siapa calon yang di berikan oleh kakak. Tapi siapa yang mengira ternyata dunia akan jadi sesempit ini. sama sekali tidak kusangka ternyata kakak dan Pak Rey berteman.

“ dengar ya, “ ia masih menjewer telingaku, “ kamu jangan seenaknya membatalkan perjanjian begitu saja! kakak sudah terlanjur bilang padanya. Kalau kamu mau membatalkan perjanjian ini lebih baik kamu bilang sendiri saja. “

Setelah berkata seperti itu kakak segera kembali ke kamarnya. Ia meninggalkan ku sendiri dalam kebingungan ku. A.. apa yang harus kulakukan? Kuintip Pak Rey yang sedang melihat-lihat buku matematikanya. Ia serius mau mengajariku. Ya Tuhan.... aku hanya akan jadi bulan – bulanannya saja!. jangan-jangan nanti nilaiku hanya akan jadi tambah parah.

Jadi, sekarang aku harus bagaimana? Sebaiknya apa yang harus aku lakukan. Haaahhhhh... ku hembuskan nafas berat. Ku langkahkan kakiku perlahan-lahan kembali ke ruang tengah. Begitu melihatku masuk matanya langsung menatapku tajam. Sepertinya ia ingin segera melahap ku hidup-hidup.

“ kita mulai belajarnya. Ayo duduk! “ katanya.

Sekujur tubuhku merinding karena aura es yang keluar dari kata-katanya. Seharusnya ini tidak terjadi... rasanya tak ada satupun kalimat yang sanggup terucap keluar dari tenggorokan ku. Gerakanku jadi kaku, mirip robot tua yang berkarat. Aku duduk agak jauh darinya. Kalau bisa aku ingin sejauh mungkin darinya.

“ bukan di sofa, “ katanya ketus.

Eh? Lalu aku harus duduk dimana? Ia menunjukan jarinya kebawah. Mataku memandangnya dengan bertanya-tanya kira-kira maksudnya apa?

“ duduk di atas karpet, jangan di sofa. Agar lebih dekat ke meja. “ ujarnya sambil turun dari sofa dan duduk di bawah.

Aku turun dari sofa juga, bahkan gerakanku lebih mirip merosot ke bawah, hahaha... dalam hati aku tertawa getir. Apa bedanya duduk di bawah dan di atas? Ia terlihat antusias membuka buku catatanku. Lalu ia menuliskan beberapa soal.

“ Kerjakan, “ katanya sambil menyerahkan bukuku.

Hal pertama yang kulihat adalah jumlah soalnya, ada lima. Hanya lima soal dan semua pelajaran metematika dasar. Aku yakin pasti bisa. 
Dalam waktu 7 menit aku dapat menyelesaikan soal-soal itu. Ia memeriksa hasil jawabanku sambil mengangguk-angguk. Sepertinya ia puas dengan apa yang aku tulis. Kemudian tangannya kembali menuliskan beberapa soal yang kembali harus ku kerjakan.
Soal yang kedua ini mulai agak rumit. Sepertinya ia menaikan level soal yang harus aku kerjakan. Aku pasti bisa, aku tidak ingin diremehkan. Soal seperti ini pasti aku bisa. Jumlah soal yang ia berikan sama, hanya lima. Tapi semuanya terasa lebih sulit. Perlu dua puluh lima menit untuk menjawab soal kedua.

“ Hhmmmm, lumayan juga. “ ucapnya setelah selesai mengoreksi soal yang ku kerjakan.

Detik waktu berjalan sangat lambat. Duduk bersampingan dengan Pak Rey membuatku dapat melihatnya lebih dekat dari biasanya. 
Baru kusadari dia memang tampan. Dan senyumnya sangat manis. Beberapa kali ia tersenyum saat melihat hasil jawabanku. Bukan senyum sinis yang biasa ku lihat, senyumnya sangat berbeda. Rasanya seperti duduk berdua dengan orang lain. Tidak ada omelan, bentakan atau gebrakan meja.

“ Apa? “ tanyanya sambil melihat kearahku.

“ Apa, apa? “ aku balik bertanya.

Ia tersenyum, “ Kamu seharusnya melihat ke sini. “ jari telunjuknya mengarah ke bawah menunjuk buku tulis dimana ia menuliskan rumus –rumus matematika, “ bukan kewajahku, “ lanjutnya.

Blluuuusssss,

Wajahku pasti terlihat merah karena malu. Aku tidak pernah bermaksud seperti itu. Aku hanya-

Aku hanya-

Tidak, tidak mungkin aku terpesona padanya?

“ A-Aku tidak bermaksud begitu Pak, aku hanyaa~ hanya, errrr.......... hanya memandang sinar matahari yang masuk dari jendela di belakang anda. “

KONYOL, alasan konyol.

Tapi aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin bilang aku terpesona padanya saat ini. tapi, belum tentu aku terpesona padanya.
 Aku hanya aneh melihat sikapnya yang berbeda saat disini dan di kelas.
~ ~ ~  ### ~ ~ ~

Les Matematika bersama Pak Rey dilakukan tiap Senin dan Kamis. Sedangkan di sekolah aku bertemu Matematika setiap Selasa, Rabu dan Jum’at. Rasanya otakku akan meledak kalau begini. Selama enam bulan kedepan aku akan terus berhadapan dengan matematika, dan Pak Rey.

Sudah hampir dua minggu ini kami menjalani rutinitas ini. Bertemu di kelas dan bertemu di rumah. Di kelas dia seperti biasa, galak dan suka marah-marah. Tapi, jika mengajariku di rumah, ia sangat ramah dan baik. Suka tersenyum dan sangat manis?!

Manis?!

Tunggu sebentar, pikiranku pasti sudah kacau!. Ya ampun apa yang terjadi padaku? Dengan cepat kucubit pipiku sendiri.

Sakit!.

Aku sama sekali tidak sedang berkhayal. Sikapnya yang baik padaku membuatku merasa aneh. Aku tidak ingin salah paham pada sikapnya. Tapi selama ia mengajariku di rumah ia sangat baik. Sikapnya berbalik 180 derajat dengan saat di kelas. Aku baru paham apa maksud Hana saat ia mengatakan bahwa Pak Rey adalah orang yang ramah. Ya, dia memang sangat ramah dan murah senyum.

Sikap kerasnya di kelas adalah caranya untuk menertibkan murid – murid laki-laki yang ramai dan sulit di atur. Selain itu ia tidak ingin dibilang pilih kasih antara murid laki-laki atau perempuan. Aku jadi semakin memahaminya. Di sama sekali tidak jahat atau menyebalkan. 

Dia adalah orang baik yang mementingkan murid-muridnya agar bisa berhasil lulus UAN Matematika.

“ KARIN!!! “ suara keras khas Pak Rey menggelegar masuk ke otakku bak petir disiang bolong.

“ I-iya pak, “ refleks kugigit bibirku sendiri dan nyengir polos.

“ Jangan melamun, dengarkan! “

“ Iya pak, “

Huuuffffhhhh, lagi-lagi aku kena tegur setelah sekian lama aku tidak pernah kena tegur. Aku sendiri juga bingung, sedang melayang kemana pikiranku ini. jelas-jelas pak Rey ada di hadapanku tapi aku terus memikirkannya. Jantungku berdetak cepat dan semakin cepat hanya dengan mendengar suaranya, gerakannya atau bahkan diamnya. Jika ia tersenyum pada orang lain atau ramah terhadap orang lain terutama wanita, timpul perasaan tidak rela dalam hatiku.

Setiap jam istirahat, Hana terus-terusan  menempel padaku. Ini jadi rutinitas barunya setelah mengetahui bahwa pak Rey jadi guru private ku. Kami makan di pojokan kantin sambil minum es jeruk.

“ Jadi bagaimana pelajaran tadi? Kamu pasti mengertikan? Kamu sudah di ajarikan? “ tanya Hana

“ Iya, aku paham. “ jawabku singkat.

“ Trus, apa kamu cuma diajari rumus matematika saja? apa kamu tidak diajari rumus cinta? “

Uhuk-Uhuk,, aku tersedak mendengar pertanyaannya.

“Ap-Appa maksud kamu? “

“ Jangan pura-pura bodoh. Aku bisa melihatnya.. sikap “anti Pak Rey” mu sudah berubah. “

“ Aku-Aku, tidak  sama sekali, eh, begini, ini bukan seperti apa yang kamu pikirkan, ini... aduhhh bagaimana aku menjelaskannya ya? 
Sudahlah jangan di bahas! “

Hana tersenyum nakal dan mencolek lenganku, “ kamu menyukainya kan? Dari tadi di kelas kamu juga terus memandanginya “ kata Hana.

“ No! Tidak Benar! “ teriakku.

Siiiingggg- seisi kantin menoleh kearahku. Mereka menatapku dengan aneh. Bahkan sampai ibu-ibu kantin ikut memandangku. Atmosfer kantin jadi aneh. Dalam waktu sepersekian detik orang-orang masih mencari jawaban atas teriakanku, tapi aku hanya bisa diam.
Segera aku berdiri dan memasang cengiran kuda, “ He he, maaf, silahkan kembali makan ya. Silahkan, silahkan “
Setelah duduk, kupukul pundak Hana.

“ Jangan mengatakan hal seperti itu lagi! “

Hana terlihat tidak perduli, padahal aku malu karena dia.

Suka?

Kata-kata itu terus terngiang di telingaku sampai akhir pelajaran hari ini. Bahkan sampai perjalanan pulang. Sambil menunggu angkutan umum lewat aku duduk di depan sebuah warung. Siang ini terasa panas sekali melebihi biasanya. Terik siang matahari seperti mengeringkan darah yang mengalir di tubuhku. Di tambah suara bising anak-anak yang baru keluar pagar sekolah.

Suara mesin mobil menderu-deru di telingaku. Kenek angkot berteriak-teriak tidak karuan mencari penumpang. “ Parung, Parung, ayo empat enam, empat enam “ itu salah satu teriakannya. Belum lagi pengamen jalanan banci yang membawa kecrekan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dan sekarang hampir sampai di warung tempatku duduk. Sudah panas yang tidak karuan, bising yang menderu di kepalaku di tambah bau polusi udara dan keringat yang menguap karena matahari membuat kepalaku pusing.

Tiba-tiba saja Handphone ku bergetar. Setelah ku cek, ternyata mama yang menelpon.

“ Karin, tolong belikan mama bunga mawar yang masih segar ya. Dan tolong kirimkan ke rumah Pak Dimas teman kantor Papa. Alamatnya nanti mama smskan.“

“ Apa?!!!! Beli bunga? Aku tidak mau ke toko bunga langganan mama yang letaknya jauh itu. “ dengan jelas ku tolak permintaan mama.

“  Ya sudah beli di sekitar jalan arah pulang kerumah saja ya. Yang penting beli bunga“

“ Uangnya? “

“ Iya, iya, nanti mama ganti kok. “

Akhirnya aku setuju untuk membelikan mama bunga di toko bunga terdekat yang aku lihat. Sepanjang perjalanan di dalam mobil angkutan umum mataku terus menyusuri jalan mencari toko bunga. Sepertinya tidak ada toko bunga di daerahku ini. tapi, kemudian aku melihat ada papan iklan yang menunjukan bahwa jika masuk kedalam gang Anggrek akan ada satu toko bunga yang bernama “ Flowers 
“. Setelah membayar ongkos segera aku berjalan masuk menyusuri gang dan mencari toko bunga itu. Ternyata benar, ada sebuah toko dengan cat pink dan ungu muda dan berhiaskan kaca dengan ukiran bunga-bunga. Di atas toko itu tulisan Flowers terbuat dari besi-besi yang di ukir berbentuk bunga dan di beri warna-warna indah.

Toko bunga ini bisa di bilang lumayan lengkap. Dapat kulihat setelah masuk ke dalam, ada keranjang besar mawar dengan berbagai jenis dan warna. Bahkan yang langka pun ada. Di atas tembok berjejer berbagai macam rangkaian bunga-bungan dengan berbagai macam bentuk. Di rak-rak yang lain terdapat bermacam-macam bungan lain yang juga tak kalah segar.

Tapi, toko ini agak sepi, penjaganya juga tidak ada.

“ Permisi,, “ pelan-pelan kakiku menuju meja penjaga toko.

“ Permisi,, “ ulangku memberikan salam.

“ Iya, sebentar! “ suara seorang laki-laki terdengar dari dalam.

Langkah kakinya yang cepat dan tergesa-gesa dapat terdengar olehku. Kemudian laki-laki itu muncul dari balik tirai.

“ Ya, ada yang bisa saya bantu? “

Aku terpaku di tempatku, berdiri dalam kekagetan. Begitu juga laki-laki itu. Kami berdua saling berpandangan.

“ Karin? “

“  Pak Rey ? “

Aku jadi salah tingkah dan malu-malu. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya, yang pasti aku sendiri sedang sibuk menata perasaan ku yang berdebar-debar tidak karuan. Ya ampunnn..... Loh, kenapa aku jadi berdebar-debar seperti ini?.

“ Ehem, jadi, kamu mau bunga apa dan untuk siapa? “ tanyanya.

“ Hah?, eh, iya. Ini bunga untuk teman ayah yang baru saja memiliki anak pertamanya. Kira-kira rangkaian bunga yang seperti apa ya pak? “

“ Kelahiran anak ya? “

Pak Rey terlihat serius memikirkan bunga apa yang cocok. Kemudian ia berjalan menuju tumpukan bunga-bunga berwarna putih. Itu bukan mawar, kira-kira bunga apa ya?

“ Ini bunga Krisan putih, melambangkan rasa sayang, kegembiraan dan optimisme. “

“ Krisan? “

“ Bunga ini cantik dan kecil-kecil. Cocok untuk memberi selamat pada kelahiran yang baru. “

Aku terdiam, aku tidak terlalu tahu tentang bunga padahal aku perempuan. Sedangkan dia adalah laki-laki. Ia terlihat sangat damai di antara tumpukan bunga ini. Wajahnya tenang dan teduh. Senyumnya pun sangat menawan.

“ Atau kamu ingin bunga yang lain? “

“ saya sih terserah Bapak saja. saya tidak tahu banyak tentang bunga. “

Ia tersenyum sebentar dan mengambil setangkai bunga krisan. “ Bunga memang memiliki makna tertentu tapi yang terpenting adalah niat kamu untuk memberikan bunga itu. Juga ketulusan kamu. “ katanya.

Lagi, sekali lagi aku menemukan sisi berbeda dari diri pak Rey siang ini. dia tersenyum berseri-seri diantara bunga-bunga dan bukan dihadapan buku matematika. Dia juga memintaku merahasiakan bahwa dirinya bekerja di toko bunga ini.

“ Kenapa? “ tanyaku sambil melihatnya merangkai bunga-bunga krisan dalam satu buket bunga.

“ Karena aku tidak ingin reputasiku sebagai guru yang galak menjadi guru yang lemah lembut. “

“ Alasan apa itu, aneh! Hi hi hi.. “ aku tertawa.

“ Jangan, tertawa! “ ia selesai merangkai bunga – bunga itu. Lalu kemudian ia menarik sebuah kartu ucapan yang juga bergambar bunga krisan putih. “ Apa yang mau kamu tulis? “

“ Ini, ada di sms. Tolong di salinkan Pak, “ ku tunjukan handphone ku agar dia menyalin kembali sms Mama.

Tangannya bergerak cepat mengukir kalimat-kalimat ucapan selamat. Kemudian kartu itu di masukan kedalam amplop dan di sisipkan di antara bunga. Ia masih memegang handphone ku untuk menyalin alamat yang mama tuliskan. Setelah selesai, ia meraih kunci motor dan menarik tanganku tiba-tiba.

“ Eh?! “ aku bingung.

“ Ayo ku antar pulang. “ katanya.

Deg-

Deg-

Deg,

Jantungku berdetak cepat. Ini lebih tidak karuan dari sebelumnya. Tangannya memegang tanganku. Punggungnya seperti bersinar saat matahari menerpa tubuhnya dari pintu masuk. “ Bunda!, aku pergi mengantar bunga dulu ya. “ ia berteriak sambil menutup pintu.

“ Ya, “ sahut seorang wanita dari dalam.

Aku bukan ingin ge-er atau sok kepedean. Tapi ini benar-benar membuatku bingung. Atau hanya aku yang salah paham. Sikapnya, senyumannya, semuanya tentang dirinya padaku akhir-akhir ini membuatku salah tingkah dan aku takut salah paham. Aku tidak ingin tersiksa sendirian. Aku tidak ingin perasaanku bingung sendirian.

“ Ayo naik, “ katanya sambil tersenyum.

DEG, kali ini jantungku benar-benar berhenti.
~~~###~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar