Minggu, 16 Desember 2012

Hidup Yang Baru


HIDUP YANG BARU

Dia selalu mengenakan pakaian yang sama setiap hari, blouse bunga-bunga dan tas hitam di padu sepatu teplek merah yang senada dengan warna bunganya. Meskipun begitu mataku tidak bisa lepas darinya. Ia adalah wanita misterius yang selalu berdiri di halte Bis depan kantorku. Sudah selama sebulan ini aku mencoba mendekatinya. Meskipun setiap ku ajak mengobrol ia tidak merespon sama sekali. Tapi, semua kemisteriusan wanita yang di anggap orang – orang gila ini menggugahku. Bagiku wanita ini sama sekali tidak gila. Ia hanya terlihat sedih, depresi dan terluka. Pasti ada alasannya kenapa ia setiap hari berdiri di sini dengan tatapan kosong.
Sore hari itu ada yang berbeda, selain karena langit yang sangat mendung wanita yang biasa berdiri di halte itu terlihat agak gelisah. Biasanya ia akan berdiri dalam diam. Tapi kali ini ia terus-terusan melihat jam dengan ekspresi kesal. Apa yang membuat hari ini berbeda dari biasanya? Hujan mulai turun perlahan dan ia sama sekali tidak berteduh ke bagian dalam halte. Ia terus berdiri rintik hujan yang mulai menderas.
Tergugah rasa simpati, aku berlari keluar dari kantor menuju halte membawa payung. Aku hampir sampai ke tempatnya dalam beberapa langkah lagi, sampai tiba-tiba ia berlari. Bukan ke arahku. Tapi ke arah jalan raya yang sedang padat-padatnya. Ia berhenti di tengah-tengah dan menantang kendaraan-kendaraan yang lewat untuk menabraknya. Ia ingin BUNUH DIRI.
“Hey, Mbak kembali!” aku bertriak panik.
“MINGGIR!” teriakan-teriakan panik lain juga muncul.
Jalanan semakin kacau dan bahkan beberapa mobil mengerem mendadak. Hingga muncul sebuah bis besar yang tidak bisa mengendalikan kecepatannya. Suara klakson bis itu sangat memekakan telinga “TEEEEEEET”.Tanpa pikir panjang aku berlari menuju wanita itu dan menariknya ke trotoar. Jantungku berdetak keras, sangat keras dan kesadaranku hilang ketika kepalaku membentur aspal.
Aku tidak sadarkan diri untuk beberapa lama, karena ketika akhirnya mataku terbuka hari sudah gelap dan aku tengah berbaring di rumah sakit. Di kamar ku sudah ada ayah dan adik perempuanku yang masih SMA. Adikku langsung menghapiriku dari sofa ketika aku sadar. “Mas, baik-baik saja? ada yang sakit? Mas haus? Mas mau apa?” pertanyaannya memberondongku yang baru saja sadar.
Aku hanya menggeleng dua kali untuk menjawap pertanyaanya. Tubuhku serasa remuk redam dan bahkan kepalaku pening sekali. Ayah segera memanggilkan dokter untuk memeriksa keadaanku. “Alhamdulillah, sepertinya kondisi Mas Rama sudah lewat dari masa kritis.” Kata Dokter Ari. “Sebaiknya Mas Rama kembali beristirahat dulu ya.” Lanjutnya setelah saling pandang dengan ayahku dengan cara yang mencurigakan.
Masa kritis? Apakah keadaanku begitu parah? Ketika Dokter Ari beranjak pergi, aku ingin menahannya. Tanganku terulur untuk menyentuh tubuh Dokter Aji tapi tidak sampai. Kemudian aku berniat bangkit dari tempat tidur “Dok, apakah kondi....” tapi aku tidak dapat bergerak, aku terkejut dan tidak meneruskan kalimatku. Ayah dan dokter berhenti di depan pintu kamar dan tidak jadi keluar.
Aku tersadar, ada yang salah dengan diriku. Tubuhku begitu lemah tak berdaya dan aku tidak bisa bergerak. Dari mataku dapat kulihat kilatan petir yang menyambar kesadaranku. Rentetan kecelakaan itu kembali berputar di kepalaku. Meski aku berhasil melemparkan diri ke sisi trotoar tapi kakiku sempat tertabrak bemper bis besar itu. mungkinkah...... aku lumpuh.
Kusibakkan selimut yang menutupi kakiku.... mataku terbelalak, kepalaku semakin pening dan kosong. Kedua kakiku masih ada, tapi sama sekali tidak bisa bergerak. “Dokter, apa saya lumpuh?” tanyaku langsung padanya. Dia tidak menjawab tapi mendatiku perlahan.
“Saya akan menjelaskan semuanya, anda harus tenang dulu.”
“Jawab saya!” bentakku. “Saya akan lumpuh selamanya?!”
“Mas Rama, tenang dulu Mas.” Vera adikku mengelus punggungku berkali-kalli untuk menenangkan ku.
“JAWAB!” teriakanku mengagetkan semua orang.
Malam itu berakhir sungguh menyakitkan. Kehidupanku akan berakhir di sini, karirku, cita-citaku, segalanya. Mereka bilang aku masih bisa berjalan. Masih ada kemungkinan bahwa aku akan dapat berjalan, asalkan aku sering datang ke rumah sakit untuk latihan. Tapi itu hanya harapan kosong yang disampaikan semua orang agar aku tidak patah semangat. Semuanya hanya kasihan padaku.
Malam itu kusuruh Ayah dan Vera pulang agar aku bisa menenangkan diriku sendiri. Apakah aku menyesal menolong wanita itu? dimana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja? kenapa justru aku mengkhawatirkannya? Seharusnya aku marah, marah padanya? Tidak, aku tidak mungkin marah padanya.... aku yang melibatkan diriku untuk menolongnya. Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan saat ini. di satu sisi aku ingin marah pada kebodohanku sendiri karena menolong wanita itu hingga menyebabkan kelumpuhannku. Tapi di sisi lain aku merasa tidak bisa menyalahkan diriku sendiri ataupun wanita itu karena aku memang wajib untuk menolong nyawa manusia.
Air mataku turun perlahan, aku laki-laki. Tapi aku sangat rapuh. Saat ini aku layaknya ranting yang rapuh. Sekali injak maka seluruh tubuh dan jiwaku akan hancur. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa, diriku, wanita itu atau keaadaan? Tuhan, apa rencanamu sebenarnya?
Malam berlalu dengan cepat hingga matahari pagi telah kembali bersinar menyambut hari yang baru. Ibu kali ini sudah datang dari pagi untuk menemaniku. Berkali-kali ia menyebutkan tentang rehabilitasi kakiku. Ia bilang aku akan sembuh dan dapat berjalan kembali. Tapi, entah kenapa pikiranku terasa kosong sekali, berkali-kali aku menjawab ibu dalam hatiku bahwa semua itu tak kan pernah terjadi. Tak akan.
“Tok tok tok” seseorang mengetuk pintu sambil membukanya.
Aku melihat seorang wanita paruh baya seperti ibuku masuk ke dalam. Ia menyalami ibuku dan mengajak ibuku untuk berbicara di luar kamar. Akhirnya aku sendirian di kamar ini. mataku tak berhenti memandang ke arah jendela dengan gordennya yang putih dan berkibar-kibar karena angin. Ketika pintu di buka kembali ku kira ibuku akan masuk. Ternyata yang masuk ke kamarku adalah orang lain. Wanita itu.
Tubuhku semakin membeku. Mataku terpaku padanya. Dia berbeda dari sebelumnya. Wajahnya lebih berekspresi, meski kepalanya di perban dan tangannya kirinya di gips tapi aura kecantikannya tak sirna. Dia memandang ke arahku takut-takut dan berjalan perlahan. Dari matanya dapat kulihat air mata yang ia coba tahan di pelupuk matanya.
Aku masih tidak tahu harus berbuat apa, dan harus bagaimana. Tapi kemudian suaraku keluar “Kemarilah, kita belum berkenalan sama sekali”. Ia semakin mendekat dan berhenti tepat di sisi ranjangku. “Namaku Rama, aku bekerja di kantor yang berada di depan halte tempat biasa anda berdiri”
“Maaf....”suara wanita itu bergetar karena takut, air matanya perlahan menetes. “Maafkan saya... gara-gara saya anda jadi seperti ini. seharusnya saya lah yang mati.” katanya sambil berurai air mata.
“Jangan katakan anda ingin mati jika anda benar-benar menyesal.” Suara ketusku keluar ketika mendengar kalimat “mati”. “Hiduplah baik-baik dan hargai kehidupan kedua anda.” Seperti bukan diriku saja ketika aku mengeluarkan kalimat ini di sela-sela keputus asaanku.
Ia semakin keras menangis setelah mendengar kalimatku. Aku tidak tahu apa masalahnya, apa kesulitannya. Tapi yang pasti ia juga mengalami masa-masa sulit yang membuatnya sangat putus asa. Dia hampir membunuh dirinya sendiri di tengah-tengah keputus asaannya. Apakah aku hanya akan berakhir seperti dirinya? Apakah aku akan menyerah dengan keadaanku yang seperti ini?
“Orang bilang kadang keajaiban itu bisa terjadi” kalimat Ibu tadi pagi saat menceramahiku. Munkinkah? Aku tertohok dengan kalimat ku sendiri “Hiduplah baik-baik dan hargai kehidupan kedua anda”. Bukankah aku sendiri juga baru saja mendapat kesempatan hidup kedua. Hidup setelah lolos dari maut.
Hellen Keller yang dari lahir telah cacat saja bisa menjadi orang terkenal yang menginspirasi semua orang. Kenapa aku tidak, apa lagi aku masih memiliki kesempatan untuk bisa berjalan. Bukankah setiap detik waktu sangat berharga hingga sayang sekali untuk disia-siakan dengan berputus asa. Aku tidak hanya menasihati wanita ini, tapi juga menasihati diriku sendiri untuk bangkit dan menyongsong hidup yang baru.

Rabu, 31 Oktober 2012


Surat Untuk Sahabat
Ternyata waktu berlalu sangat cepat ya, rasanya baru kemarin kita bertemu, berkenalan dan melakukan percakapan pertama kita. Hari itu, di kelas. Aku tidak akan pernah tahu siapa kamu sampai kita berdua duduk bersebelahan. Kukira waktu itu kita berdua tidak akan pernah cocok satu sama lain atau bahkan menjalin persahabatan, tapi ternyata takdir berkata lain. Mengenang kembali hari-hari itu rasanya menyadarkan ku bahwa waktu yang kita lalui bersama ternyata berlalu dengan cepat.
Sebelas tahun yang kita habiskan bersama, tumbuh bersama dan saling mengerti satu sama lain. Dari hanya seorang anak-anak hingga menjadi gadis dewasa berusia 21 tahun. Kebersamaan, kesedihan hingga kebahagiaan kita bagi bersama. Meski kita tidak pernah selalu bersama, tapi terimakasih telah selalu menemani dan mendampingi ku.
Jika bukan karena kamu, aku tidak akan pernah menjadi diriku yang saat ini. Jika bukan karena kamu, aku akan tetap berada dalam kebingungan. Jika bukan karena kamu, aku mungkin masih berdiri di tempat yang sama tanpa bisa melangkah. Meski hanya sebuah langkah kecil, ini sangat berarti dalam hidupku.
Terimakasih, karena telah mendukungku. Terimakasih karena telah menuntun jalanku. Terimakasih karena telah menunjukan dunia padaku. Terimakasih karena telah mewujudkan salah satu impianku, yang mungkin tanpa adanya kamu aku tidak akan pernah mencapai semua ini.
Sejak pertama kita bertemu sampai hari ini, maafkan pula segala kekuranganku. Maafkan kesalahanku. Maafkan ketidak sanggupanku mengerti dirimu. Maafkan keegoisanku. Maafkan kemalasanku. Maafkan segala hal salah yang telah ku lakukan padamu. Maafkan aku.
       Mulai hari ini, berjuanglah mencapai impianmu. Berjuanglah menysuri jalanmu. Nikmati apapun yang kamu inginkan. Kumpulkan kebahagiaanmu sebanyak-banyaknya. Cintai semua orang yang dekat denganmu sebanyak-banyaknya. Dan lindungilah orang-orang tersayang mu sebaik-baiknya.
       Tetaplah izinkan aku berjalan di sampingmu. Tetaplah izinkan aku mendampingimu. Meski waktu memakan usia kita. Meski jarak memisahkan kita. Meski jalan kita berbeda. Meski masa depan kita berbeda. Jangan pernah putuskan tali yang telah mengikat persaudaraan kita selamanya. Hingga nanti tanah yang akan menguburnya dalam-dalam bersama tulangku. Akan kuikat diriku kuat-kuat dalam persahabatan ini.
       Teruntuk teman, sahabat sekaligus saudara terbaiku. Andhini.

Jumat, 03 Agustus 2012

Pilihan Hati


Randi memandangi tunangannya Clara yang ada di hadapannya. Ia sangat bahagia memiliki Clara, mencintai Clara tapi kenapa bayangan wajah Rena kembali muncul menghantui pikirannya. kedua wanita dihadapannya ini berbeda jauh. Clara tunangannya sangat manis, lembut dan rapuh. Sedangkan Rena adalah wanita yang ceria, perhatian dan kuat.
Randi terdiam cukup lama memandangi steaknya. Ia dan Clara sudah pacaran hampir selama lima tahun. Tapi kenapa kini tiba-tiba hatinya mulai berubah.
~~~###~~~
Udara tercekat di tenggorokannku, membuatnya terasa sakit seperti di tusuk-tusk. Sedetik kemudian dadaku yang terasa sakit dan air mataku menggenang pelupuk mataku. Ekspresi wajahku tak terlihat akibat gelap yang menyelubungi seluruh ruangan. Satu-satunya cahaya yang ada adalah dari layar putih besar di hadapan seratusan penonton yang memantulkan film.
“Aku mau ke toilet” bisikku pada Febi di sisi kananku.
“Ok. Perlu diantar?” tanyanya
“Ngak usah, nanti kamu ketinggalan ceritanya.”
Aku berjalan menyusuri tangga yang menurun di tengah-tengah deretan kursi-kursi lalu langsung keluar melalui pintu exit. Setelah menyusuri sedikit lorong sepi aku sampai kembali di bagian tengah mall yang megah.
Ya, sebenarnya aku tidak ingin ke toilet. Aku hanya tidak ingin menonton film itu. Bagian awalnya saja sudah menyebalkan. Rasanya menonton film itu seperti sedang mengejek diriku sendiri. dengan langkah gontai aku menuju food court. Memesan sebuah minuman dan duduk sendirian.
Selama lima belas menit, aku hanya terdiam tanpa memikirkan apa-apa sambil memandangi orang-orang yang sedang duduk dan berlalulalang. Sampai febi menelponku dan menghancurkan keheninganku.
“Kamu dimana?”tanyanya. Suara film masih terdengar dari ujung handphonenya
“Aku di toilet, Feb. Ngantri” jawabku berbohong
“Cepat kembali ya. Filmnya sedang seru-serunya”
Setelah menerima telpon febi, hanphone di tanganku terasa berat. Maaf, aku tidak berniat kembali kedalam untuk menonton film itu Feb. Film itu mengingatkan sesuatu yang telah kukubur jauh-jauh dalam hatiku. Dan aku takut melihat akhir dari film itu, pasti Randi akhirnya akan memilih Rena dan meninggalkan Clara. Film Indonesia kan mudah di tebak.
Kupandangi layar handphone yang wallpapernya fotoku dan Kak Fatih. Foto ini di ambil sekitar dua bulan yang lalu di taman kota. Ia mengajakku jalan-jalan untuk merefresh pikiranku yang sedang penat-penatnya mengikuti bimbel dalam menghadapi UAS kelas 3 SMA nanti.
Seharusnya di taman merupakan saat-saat yang indah antara aku dan dia jika saja Kak Dewi tidak menelponnya.
“Kata Dewi anak-anak lagi kumpul di cafe biasa, bagaimana kalau kita ke sana. Nanti kuperkenalkan sama teman-temanku disana. Ya?.”
Ia terlihat antusias sekali sore itu ingin memperkenalkanku pada teman-teman kampusnya sebagai pacarnya. Meskipun sebenarnya aku hanya ingin menghabiskan sore yang pendek itu berdua dengannya. melihatnya seperti itu meluluhkan hatiku.
“Ya” jawabku singkat
Dan tiga puluh menit kemudian aku sudah duduk bersama teman-temannya di sebuah cafe. Kami semua berjumlah enam orang dan yang perempuan hanya aku dan Kak Dewi. Kata Kak Dewi sebenarnya ada anak-anak perempuan lain. Tapi mereka tidak bisa datang sore ini.
Ketiga laki-laki teman Kak Fatih adalah, Farhan, Deni dan Robi. Mereka orang-orang yang ramah dan humoris. Awalnya mereka bertiga meledek Kak Fatih karena dikira dia membawa adiknya. “Enak saja adik, ini Sandra pacarku” jawab Kak Fatih bangga.
“Fatih ternyata misterius ya” kata Kak Farhan
“Misterius bagaimana kak?” tanyaku bingung
“Gak terlihat celahnya, susah di tebak. Kukira dia tipe orang yang gak akan pacaran.” Jelasnya.
“Gw sih gak sependapat sama lo, Han. Yang gak akan pacaran sih elo. Sampe sekarang masih aja ngejomlo” ledek Kak Deni
“Jangan ngeledek Den, kamu sendiri belum punya pacar” Kak Dewi membela Kak Fatih
“Hahahaha, ku kira Dewi yang selama ini pacaran sama Fatih loh, habis kalian deket banget sih” celetuk Kak Robi. Dan semua tertawa menanggapi lelucon itu.
Aku hanya tersenyum mendengar candaan dari Kak Robi. Kak Fatih dan Kak Dewi memang dekat karena mereka dulu sekelas. Tapi kenapa Kak Fatih terlihat serius menganggapi candaan itu. Ia meninju bahu Kak Robi dengan keras.
“Sembarangan lo!” kata Kak Fatih dengan senyuman yang kaku.
Ku alihkan tatapanku pada Kak Dewi. Ia tersenyum kikuk tidak enak dan bahkan tidak berani menatapku. Inikan Cuma candaan kenapa mereka menaggapinya dengan serius begitu sih? Ini Cuma bercanda kan? Ku tatap lagi Kak Fatih mencari jawaban atas pertanyaan dalam hatiku itu. Tapi Kak Fatih hanya diam saja dan tersenyum padaku sambil mengelus kepalaku.
Dia menyayangiku.
Aku tahu itu. Dia tidak mungkin menghianatiku.
Dan memang dia tidak menghianatiku. Karena setelah pertemuan itu kasih sayangnya kepadaku bahkan semakin bertambah. Ia selalu datang kerumahku untuk membantuku belajar menghadapi ujian. Membawakan soal-soalnya untuk ku pelajari. Dia selalu perhatian padaku.
Untuk itulah aku menutup mata.
Aku menutup mataku, padahal aku tahu ia selalu melihat sms dari Kak Dewi dengan wajah yang sedih meski sms itu hanya sms basa-basi. Aku selalu mengecek inboxnya dan sms dari Kak Dewi sangat sedikit. Aku bisa melihatnya sangat antusias ketika membicarakan kebaikan Kak Dewi yang tidak sengaja terangkat dalam pembicaraan kami. Aku berlagak baik-baik saja ketika saat ku telpon ia sedang bersama Kak Dewi.
Aku menutup mataku dari kecurigaan-kecurigaan kecilku yang tidak beralasan. Selama Kak Fatih tidak mengatakan apa-apa padaku, maka aku akan terus mempercayainya. Semua kecurigaanku adalah hal-hal yang tidak beralasan.
Kemudian lamunanku terhenti akibat bunyi handphoneku lagi. Febi kembali menelpon. Ia marah-marah padaku karena tak kunjung kembali dan filmnya sudah habis. Dengan kesal ia bertanya aku sedang ada di mana. Tak sampai sepuluh menit setelah telponnya ia sudah ada di hadapanku.
“ Kamu kenapa sih?” tanyanya “kan aku sendirian di dalam”
“Maaf ya, aku males banget nontonnya”
“Padahal filmnya kan bagus, agak-agak melankolis sih. Tokoh utamanya terlalu egois.” Umpat Febi
Aku terkejut mendengar komentar febi tentang tokoh “Clara” bagai mana bisa Clara di sebut egois. Kalau akhirnya randi memilih Rena. Berarti dia tidak egois kan. “Kenapa Clara egois?” tanyaku
            “Ya, masa dia udah sadar kalau Randi suka sama Rena. Tapi ia pura-pura ngak tahu. Dia tetap ingin memiliki Randi.”
“Jadi Randi menikah dengan Clara?” tanyaku terkejut.
“Ya, Randi tetap menikah sama dan Clara dan Rena memilih tinggal di luar negeri. Randinya juga sih plinplan ga bisa milih. Akhirnya malah nyakitin hari kedua cewek itu”
Kenapa Randi disebut plinplan, kenapa akhirnya dia justru menyakiti kedua cewek itu. bukannya dia sudah memilih dengan Clara. 
Febi melanjutkan ceritanya “Dia memilih Clara jadi istrinya, tapi sepanjang hidupnya Randi terus mencintai Rena yang gak pernah ia temui lagi. Bodohnya lagi si Clara tetap pura-pura gak tau dan menjalani pernikahan mereka seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Kamu tahu apa yang di katakan Clara? “
Aku menggeleng perlahan.
“Tidak apa-apa Randi tidak lagi mencintainya asalkan Randi selalu ada di sisinya dan ia bisa terus melayani Randi sebagai istrinya itu sudah cukup.”
Dadaku sakit.
Mendengar cerita dari Febi mengenai film itu. Aku mengerti benar keadaan Clara. Aku seperti Clara. Karena itulah aku takut menonton film itu. Aku takut tersakiti dan aku takut kehilangan Kak Fatih. Aku menyadari perubahan hati Kak Fatih yang dengan segenap hati ku ingkari. Seperti Clara yang pura-pura buta terhadap tunangannya.
Aku dengan keegoisanku sendiri sengaja menunjukan cinta yang besar pada Kak fatih agar dia tahu bahwa tak ada orang lain lagi yang bisa mencintainya selain aku. Agar dia terikat pada ku. Agar hatinya kembali padaku.
Disisi lain mungkin Kak Fatih juga masih mencintaiku, karena itu ia berusaha mengubur jauh-jauh perasaan itu dan merasa bersalah padaku seperti Randi yang merasa bersalah pada Clara. Dan Kak Dewi yang juga mengenalku merasa bersalah dan tidak enak pada ku. Ia juga berusaha menjauhi Kak Fatih dan menahan perasaannya.
Tanpa terasa air mataku mengalir.
“Kamu kenapa Sandra?” Tanya Febi cemas, “Sakit?”
Aku menggelengkan kepalaku, “Feb, Aku mau bertemu Kak Fatih saat ini juga. Kamu tidak apa-apa kan pulang sendiri?” tanyaku
“Engg... ya tidak apa – apa sih. Tapi kamu yakin tidak apa-apa?”
“Ya, aku hanya baru saja menyadari bahwa aku telah bersikap egois dan kekanak-kanakan.”
“Hah?” Febi terlihat bingung dengan kata-kataku.
Wajah Febi masih tampak kebingungan ketika akhirnya dia pulang setelah Kak Fatih datang satu jam kemudian. Dia tahu sesuatu telah terjadi padaku dan aku belum siap bercerita padanya. Kak Fatih membeli dua tiket film yang sama seperti film yang aku tonton dengan Febi tadi atas permintaanku.
Kami menonton dengan saling diam. Dan kali ini aku benar-benar menonton dengan seksama. Melihat apa kesalahan terbesar yang telah dilakukan oleh Clara. Aku tidak tahu apa ekspresi Kak Fatih saat menonton film ini. Kemudian di akhir film Clara yang ceritanya sudah tua berbisik pada dirinya sendiri di depan makam Randi “selama ini aku telah merawat mawar yang telah lama layu, Randi” dan film pun berakhir.
            Kami berdua berjalan bergandengan tangan dan duduk salah satu bangku di dalam mall yang di gunakan untuk para pengunjung beristirahat sejenak. Aku memandang wajahnya yang tetap terlihat ceria. Dia memang tampan, tak ada siapapun yang dapat menyangkalnya. Semua wanita yang berpapasan dengan kami pasti selalu memandang kearah wajahnya selama sepersekian detik dan kemudian sadar bahwa ada aku disampingnya sebagai pacarnya.
“Kakak tahu kenapa film itu dinamakan Mawar Layu?” tanyaku
“Kenapa? Kakak tidak terlalu memperhatikan filmnya tadi.” Ia membuang wajahnya dari tatapanku. Dia bohong kalau sudah bersikap seperti itu.
“Mawar adalah lambang cinta, dan Clara pada akhirnya setelah Randi meninggal baru menyadari bahwa ia telah bersikap egois dan telah menahan Randi untuk bersamanya meskipun ia tahu bahwa mawar cinta Randi untuknya telah layu sebelum mereka menikah” aku menerangkan. “Itulah kesalahan terbesar Clara, dan aku tidak ingin seperti Clara” lanjutku
Kak Fatih kembali menatapku dengan tersenyum, “Kamu melankolis banget, kamu tadi sama Febi sudah makan belum? Kalau belum kita makan yuk?” katanya seraya berdiri.
“Aku ingin bicara sesuatu yang serius sama kakak” tanganku menahan tangannya saat ia ingin berdiri.
~~~###~~~
Keesokan harinya di sekolah Febi langsung menyambutku ketika aku sampai di kelas. Ia mencemaskan keadaanku. Apakah aku bertengkar dengan Kak fatih, atau aku sakit.
“Meski kamu menutupi mata kamu dengan kaca mata aku bisa melihat mata kamu bengkak, kamu habis menangis ya semalaman?” ia bertanya menyelidik
“Aku putus dengan Kak Fatih” jawab ku singkat
Dia menatapku terbelalak. “Bagaimana bisa?” tanyanya
“Karena aku hanya ingin di cintai oleh orang yang benar-benar hanya mencintaiku dan memikirkanku saja.“ jawabku penuh teka-teki
Wajah febi masih menunjukan rasa iba terhadapku. Ia menyayangkan putusnya aku dan Kak Fatih tanpa alasan yang jelas saat kami sendang mesra-mesranya. Aku belum bisa bercerita apa-apa ke Febi.
“Kita masih muda Feb, cinta, persahabatan, hidup masih akan terus berjalan. Cinta yang pergi pasti akan berganti dengan cinta yang baru yang mungkin lebih baik lagi. siapa yang tahu masa depan nanti akan berjalan seperti apa.”
Ya,  siapa yang tahu masa depan nanti seperti apa... aku hanya baru menyelesaikan salah satu masalahku untuk mencapai suatu kedewasaan. Biarlah Kak Fatih sendiri yang menyelesaikan masalahnya dengan Kak Dewi tanpa ada beban lagi terhadapku. Dan biarkan aku menata lagi langkahku tanpa ada beban lagi terhadap kak Fatih.

Jumat, 13 Juli 2012

Move On


“Tiara, Gemilang” aku terkejut bertemu keduanya di Restoran Steak.
“Eh Dara!,” Tiara dan Gemilang balik menyapaku.
“Sudah lama?” tanyaku
“Lumayan, nih sudah mau habis” jawab Tiara
Aku terdiam sejenak, bingung ingin mengobrol apa lagi. akhirnya aku memilih untuk pergi kedalam
“Aku masuk dulu ya, anak-anak kelas sudah menunggu di dalam”
“Ya.”
Setelah saling melempar senyum lebar, aku berbalik masuk kedalam restoran dalam keheningan hatiku. Tapi aku baik-baik saja, jadi kalian jangan khawatir.
~###~
(Satu tahun lalu, SMA Taruna Negeri)
Siang itu suasana perpisahan terasa sangat menyesakan di dadaku. Akhirnya kami akan mengakhiri masa SMA yang indah dan melangkah menuju dunia baru yang lebih dewasa. Tapi ada sesuatu yang lebih dari pada kesedihan berpisah dengan teman. Ya, aku akan berpisah dengan laki-laki itu juga.
Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja biru langit. Dasinya bermotif garis-garis horizontal dengan gradasi warna hitam, biru donker dan biru langit. Rambutnya pendek dengan sedikit licin karena minyak, hanya sedikit agar rambutnya rapi. Kami berdua berbeda kelas, selama tiga tahun ini. Tapi, entah kenapa hatiku bisa terpaut padanya.
Jika ku ingat saat pertama kami bertemu, waktu itu masa orientasi siswa baru di SMA Taruna Negeri Tangerang ini. Aku yang terlambat datang ke sekolah di hukum untuk bernyanyi di depan teman-teman dan kakak panitia. Ternyata bukan hanya aku saja yang terlambat tapi juga dia. Dengan atribut orientasi siswa baru seperti kalung permen dan gelang permen. Kami harus bernyanyi sambil berpegangan tangan layaknya pasangan kekasih.
“Ayo, Dara dan Gemilang! Nyanyikan lagu potong bebek angsa sambil bermesraan!” ujar seorang kakak kelasku yang bernama Toni
“Ah, masa nyanyi sih kak. Saya gak bisa nyanyi!” elak Gemilang
“Saya juga kak, gak bisa nyanyi” ujarku malu-malu
“Ayo mau cepat selesai tidak hukumannya?” bentak Kak Rere dengan wajah super galaknya
“Ya udah, ya udah deh. “ akhirnya Gemilang menyerah
Aku tidak mengambil pusing hukuman sepele ini. kami mulai bernyanyi dengan lantang lagu potong bebek angsa.
“Pegangan tangan dong!” pinta Kak Hendi sambil membawa kamera siap mempotret foto kami berdua.
Aku ingin protes dan menolak. Aku bahkan sudah berhenti bernyanyi, tinggal Gemilang yang bernyanyi. “Yahh, kakak..” tapi, kalimatku tercekat ketika Gemilang meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku tidak pernah berpengangan tangan dengan lelaki selama itu kecuali untuk berjabat tangan. Tapi ia terus memegang tanganku sampai kami menyelesaikan 2 kali putaran lagu Potong Bebek Angsa.
Jangtungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku tidak menyadari bahwa debaran jantung itu, dan perasaan hangat yang merayap menuju hatiku saat itu adalah benih cinta. Yang kemudian semakin tumbuh dan membesar seiring berjalannya waktu. Aku menyukainya dalam diam karena kami berbeda kelas. Pertemanan ku dengannya pun hanya sebatas teman biasa.
Gemilang adalah sosok yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja, ia memiliki kemampuan berorganisasi yang baik. Tidak terlalu populer di kalangan siswa-siswa seperti Rudi atau Ardy yang kemudian menjadi ketua Osis. Pernah waktu aku terlambat pulang akibat kepanitiaan acara Ulang Tahun Sekolah ia menunggu ku hingga selesai menyelesaikan semua tugas. Aku tahu mungkin karena saat itu ia adalah ketua panitia dan aku sekretarisnya, tapi, tetap saja dia sangat gentle dengan menungguku di sekolah bahkan sampai tidak ada orang lain lagi selain aku, dia dan satpam.
Pernah suatu ketika sepatuku rusak di sekolah, dan aku hampir mengangis di depan gerbang karena teman-teman ku yang lain sudah pulang. Ia bersedia mengantarkanku pulang. Aku tidak tahu, mungkinkah aku yang terlalu percaya diri? Atau aku hanya salah paham. Untuk lebih mendekatinya, aku mendekati adik perempuanya Detty yang sekarang masih kelas 1 SMA. Kami berdua menjadi sangat dekat, dan bahkan ia tahu aku menyukai Gemilang. Tapi, aku tetap tidak tahu bagaimana perasaan Gemilang padaku.
Di hari perpisahaan ini, aku ingin mencari tahu jawabannya. Aku ingin mengungkapkan segalanya. Tapi bahkan sampai ketika acara hampir selesai bibirku tetap terdiam dan kelu.
“Kak Dara, selamat ya sudah lulus.” Detty mendekatiku dan menyalamiku
“Terima kasih Detty“ Kami berpelukan sebentar.
Tapi entah kenapa, perasaan ku luluh seketika. Pertahanan yang ku buat agat tidak menangis hancur. Aku menangis, tapi entah apa yang kutangisi. Perpisahanku dengan teman-temanku kah? Perpisahanku dengan masa SMA ku kah? Atau perpisahanku dengan Gemilang? Setelah kami lulus SMA, kami akan menempuh jalan kami masing-masing. Meskipun kami masih tinggal di kota yang sama, tapi tak ada lagi kesempatanku untuk bertemu dengannya sebebas di sekolah.
“Kak, Kak Gemilang kuliah di Univesitar Kebangsaan juga kok, masih ada kesempatan” Ujar Detty.
“Bukan itu Det, kadang kala waktu dan kesempatan berbicara ada. Tapi kakak yang tidak bisa berbicara apa-apa”
Itu kalimat terakhir yang ku berikan pada Detty. Karena aku harus segera pulang. Tanpa mengucapkan perpisahan pada Gemilang. Tanpa salam apapun. Aku memilih pulang. Hingga ketika aku sampai di rumah, rasanya dadaku sesak seakan-akan ada sebongkah perasaan yang masih tertinggal di hari perpisahan itu.
~###~
Enam bulan hampir berlalu setelah perpisahan SMA ku. Aku dan Gemilang memang sama-sama masuk Universitas Kebangsaan. Juga beberapa orang temanku. Tapi kami berbeda jurusan. Dan bahkan kami sangat jarang bertemu. Kegiatan dan jadwal kami semua berbeda-beda. Salah satu teman ku juga yang masuk kesini adalah Tiara. Kami sekelas di SMA dan dia juga masuk di universitas ini sehingga kadang bertemu.
Ketika akhirnya aku tanpa sengaja bertemu dengan Gemilang di perpustakaan. Suasana canggung menyerang kami. Hanya basa-basi singkat saling sapa biasa.
“Gimana kuliahnya Gemilang?” Tanyaku
“Baik, ini, lagi ngerjain tugas yang setumpuk menjelang UAS” katanya
“Oh, kamu sendirian?” tanya ku
“Oh, enggak tadi sama Tiara sih. Tapi tau nih dia ada dimana.”
Tiara?” batinku. Setauku sejak SMA dia tidak pernah pergi kemanapun dengan seorang perempuan. Selalu dengan teman laki-lakinya. Sekalipun jika harus pergi dengan perempuan adalah jika ada urusan yang jelas. Tapi, mungkin saja mereka tidak sengaja bertemu seperti ku dan dia saat ini? atau mungkin Gemilang sedang meminta bantuannya.
“Gem-“ Tiara agak kaget ketika muncul dari balik lorong saat melihatku dan Gemilang. “Eh, Dara” ujarnya sambil tersenyum canggung.
“Tiara, kamu disini juga, sedang mengerjakan tugas juga?” tanyaku
“Iya, aku sedang mencari referensi, Ra.”
“Oh,Ya sudah, Gemilang, Tiara aku duluan ya.”
Aku melangkah meninggalkan kecanggungan itu. Dalam hatiku sempat terlintas bahwa ada sesuatu antara mereka berdua. Tapi,aku tidak ingin mengakuinya. Meski kami hanya teman biasa tapi Tiara tahu aku menyukai Gemilang sejak kelas 1 SMA. Dan ku akui semenjak kuliah memang aku tidak pernah bercerita apa-apa lagi tentang Gemilang ketika aku dan Tiara bertemu. 
Aku duduk sambil membuka buku. Tapi bahkan mataku sama sekali tidak membaca. Berkali-kali aku meyakinkan perasaanku bahwa tidak terjadi apa-apa dan tidak ada apa-apa antara mereka berdua. Suasana canggung dan senyum kikuk Tiara hanya perasaanku saja. setelah meyakinkan hatiku segera ku baca dengan serius bukuku.
Baik lewat facebook maupun twitter aku masih mencoba terus berhubungan dengan Gemilang. Meski tidak terlalu intens, tapi sebisa mungkin kontak kami tidak putus. Hanya saja aku tidak berani mengiriminya sms atau menelponnya. Tapi selain aku ternyata Tiara juga selalu berhubungan dengan Gemilang. Ia bahkan lebih sering memberikan comment di wall Gemilang atau mementionnya. Selain Tiarapun teman-teman ku yang lain juga masih terus berhubungan. Tapi, entah kenapa yang pertama kali ku lihat adalah Tiara.
Jika seandainya Gemilang dan Tiara benar pacaran, apa yang akan ku lakukan? Marahkah pada Tiara? Marahkah pada Gemilang? Jika aku marah pada Tiara, maka pasti kecanggungan dan keretakan pertemanan kami akan berlangsung selama-lamanya. Hanya saja kemudian ada perasaan lain yang menghantui hatiku. Perasaan bahwa teman yang dekat denganku justru akan pergi menjauh. Entah mana yang lebih sakit antara perasaan di tinggalkan teman atau mengetahui teman pacaran dengan seseorang yang ku suka. Tapi yang ku tahu, kehilangan seorang teman akan terasa sangat menyakitkan.
Detty apa kabar?” setelah sekian lama kami tidak smsan, aku memulai menghubungi Detty lagi.
Baik kak, kakak apa kabar?” balasan sms dari Detty cepat sekali
Boleh tanya sesuatu ngak? Tapi jawab yang jujur ya,”
Ya kak, silahkan
Kak Gemilang sedang dekat dengan seseorang ya?”
Detty tidak menjawab. Lama sekali, bahkan hampir sepuluh atau lima belas menit. Aku menunggu dengan cemas. Kenapa dia tidak menjawab? Apakah dugaanku benar?
Kak, gimana kalau kita ketemu aja. Nanti sore kakak kosongkan?
Oke, nanti kita ketemu di cafe bintang depan SMA ya, jam tiga sore.”
Kebetulan hari ini aku kosong jadwal kuliah. Jadi dari jam dua aku sudah menunggu Detty di Cafe favorit anak-anak SMA Taruna Negeri. Jam tiga lewat sepuluh menit Detty datang dan mencariku. Karena sebelumnya aku sudah sms bahwa aku sudah menunggunya.
“Maaf ya kak, aku agak telat. Tadi aku keluar paling akhir untuk mengumpulkan tugas soalnya. Ia meminta maaf
“ Iya santai aja. Kamu mau pesen apa?”
“Jus Mangga sama Pancake aja kak, kakak pesan apa?”
Ku panggil pelayan mendekati kami dan memesan makanan. Kami berbicara basa-basi mengenai keadaan SMA dan tentang kuliahku sambil makan pancake. Sampai akhirnya aku yang bertanya duluan dan membuka topik pembicaraan megenai apa yang ada di sms.
“Det, Kak Gemilang benar lagi dekat dengan seseorang ya?” tanyaku to the point.
“Iya kak, maaf ya aku gak kasih tau kakak”
Deg-
Jantungku terasa nyeri, tapi aku tetap berusaha ceria dan tersenyum saat menjawab pertanyaannya. “Ga masalah Det, lagian kakak siapanya dia.”
“Ya tapikan, aku merasa gak enak kak. Aku bingung juga mau bilang ke kakak gimana.”
“Ya ampun Detty, kakak gak masalah kok. Santai aja. Hmmm, btw dia dekat sama Kak Tiara ya?”
Detty terdiam memandangku. Mungkin ia bingung mau menjawab bagaimana. “I-Iya kak” suaranya pelan. “Kok kakak tahu?”
“Kelihatan kok, sebetulnya kakak sudah merasa sejak lama. Waktu itu kakak sempat bertemu beberapa kali dengan mereka berdua di kampus. Lebih tepatnya ga sengaja melihat mereka sedang berdua sih hehehe” lagi-lagi aku berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya.
“Maaf ya kak, aku diam aja dari dulu. Sebenarnya mereka sudah dekat sejak akhir-akhir mau kelulusan” Detty blak-blakkan.
Aku tersenyum selebar mungkin dalam kegetiran hatiku sendiri. Detty baru mengatakannya sekarang bahwa mereka telah dekat sejak sebelum kelulusan kami. Tapi aku tidak ingin menyalahkan Detty. Aku yakin dia ingin menjaga perasaanku mengingat kami berdua berteman lumayan akrab.
“Iya, Dett, kakak ga masalah kok. Kakak gak akan marah pada Detty. Kakak bukan pada tempatnya untuk marah, karena kakak pun selama ini tidak melakukan pendekatan ke Gemilang sebagai seorang wanita yang suka pada pria, hanya sebagai teman. Jadi kalaupun semua ini terjadi yaa~ itu semua karena salah kakak sendiri”
~###~
Sore setelah pengakuan Detty padaku, aku berusaha untuk mengirim pesan singkat pada Tiara. Beberapa kali ku coba menulis kalimat tapi akhirnya ku hapus lagi. Sampai jam sembilan malam aku masih terdiam di atas kasurku seperti orang yang sedang bersemedi. Aku kembali memikirkan semua sikap Tiara padaku beberapa waktu ini. Sikapnya yang menjaga jarak, basa-basi, canggung terhadapku. Mungkinkan karena masalah ini.
Aku bahkan juga menginstropeksi diriku sendiri. mulai dari hubunganku dengan Gemilang. Aku dan Gemilang memang hanya teman biasa. Seperti yang kukatakan pada Detty, aku diam saja dan tidak berusaha menunjukan perasaanku pada Gemilang. Wajar kalau dia tidak tahu. Wajar kalau dia menyukai orang lain tanpa tahu perasaanku.
Aku dan Tiara meski berteman, dan meski Tiara tahu aku menyukai Gemilang tapi apa hakku melarang Tiara dekat dengan Gemilang. Gemilang menyukainya dan ternyata Tiara juga menyukainya. Tiara bahkan telah mencoba menjaga perasaan ku dengan menyembunyikan kedekatan mereka. mungkin bagi sebagian orang sikap Tiara dianggap “menusuk” teman dari belakang. Tapi, aku bahkan tidak berpikir seperti itu.
Yang kupikirkan adalah bahwa aku bahkan bukan dalam keadaan untuk dapat marah pada Tiara, karena cinta adalah hak siapa saja. Dan Gemilanglah yang berhak memilih siapa tambatan hatinya. Gemilang tidak memasukanku dalam hitungannya karena aku bahkan tidak pernah menunjukan perasaanku.
Yang aku takutkan saat ini adalah aku kehilangan temanku yang semakin menjauh. Kehilangan satu cinta di hidupku akan menumbuhkan cinta yang lain lagi. Tapi kehilangan Tiara sebagai temanku, tidak akan menumbuhkan Tiara yang lain lagi. Hanya ada satu Tiara dihidup ini. Pertemanan adalah sesuatu yang lebih berharga dari apapun, bahkan terlalu berharga jika harus di rusak hanya karena masalah laki-laki
Akhirnya tanpa sms, ku telpon Tiara.
“Halo, Tiara. Lagi apa?” tanyaku
“Lagi ngerjain tugas nih Dar, kamu?” jawabnya
“Aku lagi ga ngerjain apa-apa. Kebetulan lagi free tugas”
“Wuiiih enak, aku lagi numpuk-numpuknya.”
“Tiara, aku mau nya sesuatu. Kamu jawab yang jujur ya”
“.... ya....”
“Kamu sedang dekat dengan Gemilang ya??”
“........” ia terdiam, tapi aku tau ia masih mengangkat handphonenya
“Iya,” jawabnya agak pelan “Kamu marah ya?”
Saat mendengar jawaban Tiara, entah kenapa aku justru merasa sangat lega. Aku tidak tahu. Seperti gudang yang telah lama di tutup dan baru di buka kembali. Udara segar berhamburan masuk kedalam meski rasa pengap masih tertinggal.
“Enggak Tiara, aku enggak akan marah atau benci sama kalian”
“Tapi kamu sakit hatikan?” tanyanya
“Ya, rasa sakit hati itu memang ada-“
“Tuh kan,” di memotong kalimatku
“Dengarkan dulu penjelasanku. Aku memang sakit hati. Sedih tau kalian bersama. Tapi aku ikut senang untuk kalian. Aku hanya gak mau kamu menjauhi aku karena hal ini. Kita tetap biasa saja seperti dulu. Ya.”
“Kamu jangan bohong,” dia masih mendesakku untuk mengatakan perasaan hatiku
“Kan tadi aku bilang, aku merasa sakit hati. Tapi Cuma sedikit. Aku bukan orang yang akan kehilangan akal karena cinta. Buat apa aku marah pada kamu. Diantara kita tidak ada yang salah. Cinta kalian pun tidak ada yang salah. “
“Aku minta maaf”
“Iya, santai saja. btw udah pacaran ya?”
“Enggg... sebetulnya sudah sih sejak dua bulan setelah lulus SMA”
Pembicaraan setelahnya terasa lebih ringan bagiku. Kami mengobrol sampai hampir tiga puluh menit. Aku yang duluan mengakhiri pembicaraan kami dengan alasan mau tidur. Karena itu memang sudah mau jam sepuluh malam.
~###~
(Restoran Steak, saat ini)
Aku menghabiskan waktu merayakan ulang tahu Joana bersama teman-teman sekelasku. Ketika kami akhirnya selesai makan-makan Gemilang dan Tiara sudah tidak ada. Aku terdiam cukup lama di jalan. Dan menyadari bahwa aku telah lama melupakan perasaan itu. tidak ada rasa sakit atau apapun lagi ketika melihat mereka bersama. Aku telah move on.
Aku bahkan sangat mensyukuri keputusanku saat malam itu untuk bicara dengan Tiara dan menyatakan semua perasaanku. Karena jika aku marah dan malah juga menjauhinya, mungkin kini kami telah bermusuhan. Teman dan pertemanan adalah sesuatu yang sangat berharga di dunia ini.
Untuk mencari satu orang musuh sangatlah mudah, tapi untuk menjaga satu orang teman sangatlah sulit. Karena pertemanan sangat rentan jika tidak di jaga baik-baik. Dan aku sangat menghargai pertemanan ini dengan siapapun itu bukan hanya Tiara. Perlahan dari dalam restoran dapat kudengar lagu “Some one like you” milik Adele di putar. Aku tersenyum dengan sangat lega sambil memandang ke langit dan memantapkan hatiku bahwa hidup akan terus berlanjut meski tanpa Gemilang.
~###~



I heard, That you're settled down
That you found a girl, And you're married now


I heard, That your dreams came true
Guess she gave a things, I didn't give to you


Old friend, Why are you so shy
It ain't like you to hold back, or hide from the light


I hate to turn up out of the blue, Uninvited
But I couldn't stay away. I couldn't fight it


I'd hoped you'd see my face, And that you'd reminded
That for me, it isn't over


Never mind I'll find, Someone like you
I wish nothing but the best for you
Too,, Don't forget me, I beg
I remeber you said
Sometimes it lasts in love 
But sometimes it hurts instead


You'd know, How the time flies
Only yesterday, Was the time of our lives


We were born and raised, In a summer haze
Bound by the surprise, Of our glory days


Nothing compares, No worries, or cares
Regrets and mistakes, They're memories made


Who would have known, How...
Bittersweet, This would taste.

Selasa, 29 Mei 2012

Mathematical Love Story 3


Jantungku berdetak cepat. Ini lebih tidak karuan dari sebelumnya. Tangannya memegang tanganku. Punggungnya seperti bersinar saat matahari menerpa tubuhnya dari pintu masuk. “ Bunda!, aku pergi mengantar bunga dulu ya. “ ia berteriak sambil menutup pintu.

“ Ya, “ sahut seorang wanita dari dalam.

Aku bukan ingin ge-er atau sok kepedean. Tapi ini benar-benar membuatku bingung. Atau hanya aku yang salah paham. Sikapnya, senyumannya, semuanya tentang dirinya padaku akhir-akhir ini membuatku salah tingkah dan aku takut salah paham. Aku tidak ingin tersiksa sendirian. Aku tidak ingin perasaanku bingung sendirian.

“ Ayo naik, “ katanya sambil tersenyum.

DEG, kali ini jantungku benar-benar berhenti.
~~~###~~~

Selang beberapa hari setelah Pak Rey mengantarkanku pulang kerumah. Selama itu pula perasaanku galau tak karuan. Entah kenapa, konsentrasi ku kembali terpecah. Seharusnya tidak beginikan? Sebentar lagi aku menghadapi Ujian Akhir Nasional. Tapi perasaan galauku selalu membawa mood jelek untuk pelajaranku. Bayangkan saja, setiap belajar di rumah jantungku selalu berdetak dengan cepat dan aku justru tidak bisa konsentrasi.

Hari ini di sekolah ia mengenakan kemeja polos berwarna biru muda dengan celana hitam. Rambutnya rapi seperti biasa. Sikapnya pun tetap cool dan berwibawa. Ia memasuki kelas dengan sebundel kertas di tangannya. Sepertinya itu soal-soal matematika yang akan ia berikan kepada kami. Hahhhhh~ firasatku jelek... dia suka tiba-tiba memberikan soal latihan kepada kami.

“ Hari ini kita akan mengerjakan soal matematika yang sudah bapak ajarkan selama ini. untuk mereview lagi ingatan kalian. “

Nah benar saja, ia langsung membagikan kertas soal kepada kami. Anak-anak langsung memprotesnya, tapi mengingat sifat kerasnya yang sudah terkenal ia tidak mau ambil pusing pada protes anak-anak. “ Kerjakan, atau nilai akhir kalian jelek! “ katanya.

“ Ini susah Pak, “ protes Dedi temanku yang duduk sekitar dua baris di belakangku.

“ Semua soal ini telah kita pelajari, ingat soal-soal sederhana yang telah bapak ajarkan. Polanya hampir sama hanya saja angkanya yang berbeda.” Ia menimpali sambil terus berputar membagi kan soal.

Langkahnya semakin mendekati mejaku, semakin dekat semakin cepat pula jantungku berdetak.

“ Ini hanya lima soal, kerjakan dalam tiga puluh menit dan langsung kita bahas. “

“ YYYAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH, satu jam Pak, satu jam yaaaa “ anak-anak semakin ribut.

Hanya dalam dua puluh menit pertama aku telah menyelesaikan semua soal yang ada di kertas. Seharusnya jawabanku benar, tapi tidak menutup kemungkinan akan salah juga. Maka, sepuluh menit terakhir ku gunakan untuk memeriksa kembali jawabanku. Hanya saja kenapa mataku selalu melihat ke arahnya.

Seharusnya aku berkonsentrasi, tapi pikiranku tidak bisa fokus. Yang ada aku malah membuat banyak tulisan kecil-kecil “ Rey “, hampir separuh kertas coret-coretanku yang baru berisi tulisan nama itu. Dari yang lurus hingga yang miring-miring ga jelas.

“ Kamu sudah selesai Karin? “ tanya Hana

“ Iya, sudah.. “

“ Ehhh,,, “ Hana melirik ke arah kertas lembat coret-coretanku. “ Rey ?? “ bacanya.

Segera ku tutupi dan kulipat kertas itu. Kepergok Hana sedang menulis nama Pak Rey membuatku tidak nyaman. Ia melirikku sambil tersenyum simpul, dan dengan wajah penuh kemenangan. Teori yang ia kemukakan tempo hari di kantin bahwa “aku suka pada Pak 
Rey“ terbukti benar sekarang.

“ Sssttttss!!! “ kupelototi dia yang sekarang malah tertawa kecil.

“ Yak, waktunya habis, ayo tukar kertas kalian dengan milik teman kalian. “

“ Nanti dulu Pak, kami belum selesai... Pak, nanti dulu pak!!!!! “

“ Ayo cepat, bapak hitung sampai lima, sa-tu... “

Anak-anak mulai ribut berbagi contekan, untungnya Hana sudah selesai.

 “ Dua! Jangan ada yang mencontek. Kerjakan sendiri! Tiga! Dedi, Karla, sekarang juga tukar hasil kerjaan kalian jangan saling contek lagi! empat! “

Pak Rey mulai berjalan ketengah anak-anak dan mulai menarik – narik sendiri kertas anak-anak agar mereka menukar kertas mereka. “ LIMA! “

Bersamaan dengan berakhirnya kata lima milik Pak Rey yang menggelegar seisi kelas diam. Kemudian ia mulai membahas soal satu persatu. Seisi kelas akhirnya pasrah dengan hasilnya, untungnya ini bukan ujian akhir. Selesai membahas soal, kami mulai menghitung kesalahan teman yang kami koreksi. Hana mendapat salah satu soal di nomor terakhir karena kurang teliti menghitung. Tetapi cara pengerjaannya sudah benar.

“ Setiap soal yang benar bernilai dua. Hitung jumlah benar dan kalikan dua. “ Pak Rey memberi penjelasan cara menilai jawaban.

“ Pak, “ ku acungkan tanganku.

Mata kami bertemu pandang. Aku terdiam sesaat, begitu juga dia.

“ Ya, Karin? “ ia mendekatiku.

Ku ulangi. IA MENDEKATIKU. Dari sekian banyak anak yang bertanya di kelas tadi, hanya aku yang di datanginya. DEG DEG penyakit jantung ku kumat lagi. jangan-jangan kali ini aku akan benar-benar sakit jantung saking cepatnya jantungku berdetak.

“ Mi-milik Hana caranya benar, hanya penghitungan akhirnya saja yang salah. Kira-kira bagaimana Pak? “ aku agak terbata-bata mengajukan pertanyaan.

“ Coba kulihat. “ ia menarik kertas jawaban Hana. “ Baiklah, beri nilai satu pada jawaban ini. Sepertinya kamu sudah paham hanya saja kurang teliti dalam menghitung, lain kali harus teliti ya, Hana. “ katanya.

“ Baik Pak. “ jawab Hana

“ Berapa nilai kamu Karin? “ Tanyanya langsung.

“ Sa-saya, errr,,, Han, aku dapat berapa? “ baru saja aku ingin menarik kertas jawabanku dari Hana. Tapi tangan Pak Rey telah lebih dulu meraihnya.

“ Kamu dapat sepuluh, benar semua. “ bisik Hana

Tapi bisikan itu terasa seperti angin lalu saat kulihat senyum Pak Rey yang sedang memperhatikan kertasku. Ia tersenyum lebar, tidak seperti senyum basa-basi yang selama ini ia perlihatkan pada teman-temanku dan orang lain.

“ Bagus, “ katanya sambil menyerahkan kertasku. Ia tetap tersenyum lebar seperti itu padaku.

Bayangkan, senyum itu terus terngiang di kepalaku hingga akhir pelajaran hari ini. bahkan hingga kerumah. Seharusnya, aku membuang jauh-jauh pikiran bahwa senyum yang ia perlihatkan padaku adalah senyum yang berbeda. Setiap hari juga ia tersenyum, setiap belajar privat juga ia tersenyum. Ini tidak benar.

Aku harus menenangkan perasaanku sendiri. Aku harus sadar diri bahwa, ia menganggapku sama seperti muridnya yang lain. Mulai sekarang akan ku tanamkan dalam hatiku bahwa ia hanya salah satu guruku dan aku hanya murid biasa yang kebetulan mendapatkan kebaikan hatinya. Mulai saat ini aku harus SADAR!.
~~~###~~~

“ Akhir-akhir ini kamu banyak bengong “ kata Pak Rey padaku di akhir pelajaran privat.

“ Hah?! Apaan deh Pak? Bengong apaan? “ elakku.

“ Terus apa namanya kalau setiap di jelaskan pelajaran kamu tidak mendengarkan. “

Aku terdiam, tidak bisa menjawab. Aku bukannya bengong Pak. Aku hanya tidak bisa menatap mu, atau bahkan sebetulnya berada di dekatmu. Pikiranku terpecah belah ketempat lain. Ya ampunnnn,,, aku kan telah membuat komitmen bahwa akan menampik dan mengacuhkan perasaan ini.

“ Karin? “ ia menegurku.

“ i-iya Pak, sa-saya minta maaf. “

“ Kamu kembali kekebiasaan lamamu, bengong “

“ Bukan begitu, “ aku mencoba mengelak lagi.

“ lalu apa? “ desaknya. “ kamu juga akhir-akhir ini mengacuhkanku. Baik di sekolah atau di saat privat “

DEG-

Apaan barusan gaya bicaranya. Ia menaruh pulpennya di meja dan kali ini jelas-jelas langsung menatap kearahku. Ya ampun.... apa, apa yang harus ku lakukan? Jantungku berderu kencang dan keras. Sepertinya sebentar lagi akan copot. Atau bahkan saat ini telah benar-benar copot.

“ Kamu ada masalah? Dengan teman, atau keluarga ? “ tanyanya.

DEG-

Perhatiannya ini yang sangat ingin ku hindari. Ia memperlakukan ku seakan – akan aku adalah anak kecil yang rapuh dan perlu dilindungi. Ia  memperlakukanku seakan-akan aku adalah miliknya.

“ Katakan padaku, aku akan membantu kamu. “

Semuanya seakan meledak di hatiku. Karena logika ku menyerang dan melawan perasaanku. Logika ku berkata bahwa perhatiannya dan semua kebaikannya selama ini wajar dilakukan seorang guru ke murid, ia memang baik bagaimanapun juga. Tapi, perasaan menjadi begitu mengharapkannya. Dia menyiksaku, sangat-sangat menyiksa hatiku.

“ Jangan sok perhatian! “ ledakan dalam hatiku keluar.

Ia terkejut,  keningnya berkerut.

“  Karin?! “

Aku berdiri.

“ Aku tidak butuh perhatian basa-basi dari bapak. Kalaupun aku ada masalah, aku bisa menyelesaikannya sendiri. “

Kulangkahkan kakiku pergi. Tapi tangan kekarnya menarik lenganku.

“ Aku tidak basa-basi “ tegasnya

“ Lepaskan!. Aku, sudah cukup dipermainkan. Jika di depanku jangan jadi guru sok perhatian. Jangan membuat orang lain salah paham. Permisi! “

Tanpa membereskan buku-buku yang ada di meja aku berlari ke kamarku. Aku bertemu kakak di tangga, tapi mengacuhkannya yang sepertinya ingin berbicara sesuatu.

Ku banting pintu dengan keras lalu menuju kasurku. Hanya saja, begitu duduk di kasur, aku jadi merasa bersalah. Sangat, sangat merasa bersalah dan malu. Jangtungku berdetak hebat, nafasku berderu cepat. Genggaman tangannya masih sangat terasa.

Seharusnya aku tidak berbicara sekasar itu. Aku seharusnya tidak meledak di depannya. Akupun tidak seharusnya menolak niat baiknya.

Aduuuhhhhh, bagai mana aku bisa bertemu dengannya besok?

“ BODOH “ kupukul kepalaku sendiri.

Aku jadi sangat menyesal. Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku bercerita pada kakak, atau bahkan pada ibu. Aku malu. Aku harus minta nasehat pada siapa? Aku benar-benar butuh seseorang untuk memarahi perbuatanku. Hari itu kuhabiskan dengan perasaan galau dan bingung. Pikiranku terus memikirkan apa yang harus kulakukan besok saat bertemu dengannya. Minta maafkah? Atau berpura-pura seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Aku harus bagaimana.

Tanpa terasa air mataku mengalir sendiri. Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin dia salah paham padaku. Kalau ia membenciku gara-gara kejadian hari ini bagaimana? Perasaanku sangat tersiksa saat ini, benar-benar berat rasanya.

Hingga jam sebelas malam mataku masih terjaga. Aku sudah berbaring, tapi mataku tidak mau terpejam sedikitpun. Air mataku sudah tidak mengalir sejak makan malam tadi. Tapi mataku masih terasa bengkak. Sampai-sampai ayah, ibu dan kakak menanyaiku tadi, ku jawab saja bahwa hari ini terjadi hal yang mengesalkan di sekolah. Jadi aku menangis karena kesal. Tapi sepertinya kakak ragu dengan jawabanku, kurasa tadi sebelum pergi ia sempat berbicara dengan Pak Rey mengenai sikapku yang aneh.

Seharusnya aku menyimpan nomor ponselnya untuk berjaga-jaga jika terjadi hal seperti ini. aku bisa menelponnya dan minta maaf. Tapi apakah aku sanggup bicara sepatah kata saja meski di telepon. Biasanya kakak yang menelponnya untuk memastikan jadwal les. Apa aku minta nomornya saja ke kakak?.

Kulangkahkan kakiku kepintu dan hampir membuka pintu kamarku, tapi kuurungkan niatku. Bagaimana kalau kakak bertanya macam-macam tentang kejadian hari ini. Aku tidak bisa menjawabnya. Aku malu. Lebih baik aku tidur dan melupakan semuanya. Besok anggap saja tidak terjadi apa-apa. Dengan langkah gontai ku hampiri kasurku kembali.

Tapi, tidak! Aku harus minta maaf. Aku tidak bisa membiarkan kesalah pahaman ini. Aku harus berani. Ku langkahkan kakiku kembali ke pintu dan sudah memegangi gagangnya, sampai tiba-tiba aku sadar, ini hampir jam dua belas malam. Murid macam apa yang menelpon gurunya tengah malam begini. Ia pasti sedang istirahat. BODOH!!! Akhirnya kupaksakan mataku terpejam dan tidur.

 Hari itu sekolah terasa sangat menyiksa bagiku. Matahari yang panas sejak pagi, anak-anak yang gaduh di kelas dan Pak Rey. Aku tidak bisa menutupi kegalauan hatiku. Hana sepertinya menyadari sikap anehku hari ini, lemah, lesu dan tak bertenaga. Sebaiknya apa yang kulakukan jika bertemu Pak Rey? Baru saja memikirkannya, orangnya sudah muncul di depan ruang guru.

Ruang guru letaknya tepat berhadap-hadapan dengan kelasku jadi aku bisa melihatnya dengan jelas. AHH,, gawat ia melihat kearahku. 

Segera kulangkahkan kakiku masuk kekelas tanpa melihat lagi kearahnya. Bersamaan dengan itu bel masuk kelas berbunyi. Setidaknya aku bisa melupakannya dengan berkonsentrasi belajar. Bagaimanapun juga, prioritas utamaku adalah belajar. Meskipun perasaanku sendang galau tak karuan aku harus tetap konsentrasi untuk belajar.

Ditengah-tengah asiknya belajar akhirnya bel “ SETAN “ itu pun berbunyi. “ Kring Kring Kring “ tanda pergantian pelajaran. Pak Geri keluar kelas dan langsung digantikan oleh Pak Rey. Ia langsung masuk tanpa memberikan jeda sedetikpun pada kami para murid untuk hanya sekedar bernafas lega karena telah selesai pelajaran sebelumnya.

Wajahnya seperi biasa dingin. Tanpa senyuman saat mengajar. Tapi tatapan matanya yang berkali-kali melihat kearahku dengan tajam membuatku takut. Sepanjang pelajaran aku hanya terus menunduk menghindari matanya. Ia sering sekali memelototiku. Seharusnya aku terbiasa dengan mata itu. Karena tiap pelajaran aku memang selalu di tegurnya. Tapi, lagi-lagi rasanya tatapan matanya kali ini berbeda. Itu tatapan marah. Aku tahu dia marah padaku.

“ Karin, kamu ngantuk ya? Jangan menunduk. Ayo perhatikan Pak Rey. “ Hana menyenggolku.

“ Eh, iya Han. “

Ya ampun Hana mana mungkin aku ngantuk di saat seperti ini. yang ada saat ini perasaanku sedang kacau.

“ Aneh ya? Pak Rey berkali-kali melihat kearah sini. Tapi tidak menegur kamu. Biasanya ia langsung marah-marah. “ ujar Hana

Ah, Hana benar. Biasanya aku lengah sedikit saja ia langsung menegurku. Tapi sekarang ia terkesan cuek. Ia malah menegur murid – murid lain. Dan tidak menegurku yang jelas-jelas tidak mendengarkan pelajarannya. Aku rasa, dia benar-benar marah. Bagaimana ini?
~~~###~~~

“ Kenapa dihentikan? “ kakak terkejut mendengar permintaanku. “ bukannya nilai-nilaimu semakin bagus? “

“ Iya, tidak apa-apa kak. Aku rasa sebaiknya di hentikan, tinggal tiga minggu lagi Uan sepertinya sebaiknya aku belajar sendiri saja “

Keputusanku untuk berhenti les sudah bulat sejak kejadian dua hari lalu. Lagi pula hari ini saat jadwal les dia tidak datang. Padahal aku menunggu dengan cemas. Aku rasa dia telah benar-benar salah paham padaku. Dia pasti membenciku karena aku membentaknya.

“ Ya sudah kakak akan menelponnya sekarang. Tapi, sebenarnya kamu kenapa? “

“ Tidak ada apa-apa kak, semuanya baik-baik saja. “ aku berbohong. Semuanya tidak baik-baik saja. aku sedang merasa kacau. “Aku hanya sedang mengalami banyak tekanan dalam menghadapi UAN. Membuatku pusing.“ lanjutku.

Jam di kamar telah menunjukan pukul sepuluh saat aku masuk kamar. Entah mengapa hari ini rasanya lelah sekali menunggunya datang. 
Kata kakak tadi, dia tidak datang karena harus pergi melayat kerumah saudaranya. Tapi menurutku mungkin saja itu juga merupakan alasannya untuk tidak menemuiku. Ya sudahlah, bukankah lebih baik ku akhiri saja semuanya sebelum terlambat. Biar aku memposisikan diriku kembali menjadi murid biasa yang tidak mengetahui sisi lainnya seperti dulu.

Saat aku hampir tertidur handphone ku berbunyi, dari nomor tidak di kenal. Aku malas meladeni orang alay tidak ku kenal yang pura-pura salah sambung. Setelah ku silent langsung ku taruh handphone ku di bawah kasur. Mengganggu saja menelpon malam-malam tidak jelas. Seharusnya orang-orang alay di dunia ini di hapuskan. Sangat-sangat mengganggu.
Kehidupan beratku di sekolah di mulai. Aku berusaha untuk selalu menghindari pak Rey jika bertemu di luar kelas. Aku benar-benar tidak bisa berhadapan lagi dengannya. Ini baru satu hari. Hari-hari beratku akan berlanjut hingga satu bulan lagi. Hingga hari kelulusan tiba.

 “ AHH!!! Nomor ini lagi! “ umpatku kesal saat tau siapa yang menelponku. Rasanya nafsu makanku jadi hilang di kantin.

Nomor alay semalam yang menelponku sudah ku beri label “ Orang Alay “ agar aku tahu dan tidak mengangkatnya.

“ Ada apa Karin ? “ tanya nya.

“ Ini ada orang alay yang dari semalam menelpon terus. Semalam di catatan telponku dia telah menelponku sebanyak 34 kali. 

Bayangkan! Hari ini pagi-pagi dia menelponku hampir sepuluh kali. Dan sekarang pas istirahat juga. Ya ampun “

“ Kamu sudah mencoba bicara belum? “

“ Ahh, ga perlu, siapa lagi yang menelpon malam-malam kalau bukan nomor orang alay.

“ Siapa tahu itu orang penting. Lebih baik kamu terima dulu dan dengan tegas bilang ga mau di ganggu. “

“ biarinlah Han, “

Tiba-tiba mataku melihatnya, Pak Rey. Ia berjalan ke arah kantin. Apakah ia mau bertemu denganku. Eh. Bodoh! Jangan ge-er. Tidak mungkin kan? Mungkin ia mau pesan makanan. Para guru biasa memesan makanan dan menyuruh membawakan ke kantor. Tapi firasatku tidak enak. Akhirnya tanpa menghabiskan nasi goreng yang ku pesan aku pergi meninggalkan Hana.

“ Hana, aku mau kekamar mandi. Maaf aku duluan “

“ Eh, ya sudah, “'

Aku melangkah pergi dengan langkah yang super-super cepat. Sangat cepat. Dan benar saja ia mengikuti di belakangku dengan setengah berlari. TIDAK MUNGKIN!!!!aku jadi berlari juga.

“ Karin, tunggu!!! “ ia berteriak.

Tidak, aku tidak bisa bertemu dengannya. Begitu sampai di toilet siswi perempuan aku segera berlari ke dalam. Ia tidak akan mengejarku kan.

Tok tok tok, “ Karin buka pintunya, kita harus bicara”. katanya

Di-dia mengerjarku sampai dalam. Bodoh! Apa dia tidak malu. Ini toilet perempuan.

“ Aku mohon, kita harus meluruskan kesalah pahaman ini. “ lanjutnya

Apa maksudnya,

“ Tidak apa-apa kau tidak keluar. Sepulang sekolah aku akan menunggumu di gerbang belakang. Jangan kabur! “

Aku bisa mendengar suara langkah kakinya yang menjauh. Ia ingin bicara denganku. Kenapa ia menggoyahkan keyakinanku di saat aku telah membuat keputusan. Bodoh!!. Dia akan menunggu ku di gerbang belakang. Bagaimana ini? aku harus datang atau tidak? Dia bercanda kan? Dia tidak akan melakukannya kan?

Hingga bel istirahat selesai aku terus termenung di dalam toilet. Begitu pelajaran di mulai aku tidak bisa berkonsentrasi. Kenapa malah perasaanku jadi senang? Tunggu dulu, perasaanku jadi semakin kacau. Ku kira dia marah padaku. Tapi dia malah mengajakku bicara duluan, berarti dia tidak marahkan? Atau jangan-jangan dia sebetulnya marah dan ingin menumpahkan kekesalannya padaku sehingga 
ia mengajakku bertemu? Tidak mungkin. Jadi mana yang benar? Apa yang sebenarnya ia rencanakan?

Aku tidak bisa konsentrasi, tidak bisa. Tidak ada satupun dari pelajaran hari ini yang masuk ke otakku. Hati dan pikiranku sepenuhnya tercurahkan pada jam yang berdetak sangat-sangat cepat tapi sekaligus lambat. Aku tidak ingin bertemu dengannya tapi dalam keadaan bersamaan aku sangat ingin bertemu dengannya? Aneh sekali.

Aku tidak mau ke ge-ran dengan percaya bahwa ia menunggu ku di belakang sekolah. Hingga akhirnya aku terus duduk di kelas sampai sepi. Semua anak sudah pulang sekolah. Belum semuanya sih, tapi keadaan sekolah sudah hampir sepi. Ini sudah lewat satu jam dari waktu pulang sekolah. Hari beranjak sore. Mengingat anak kelas 3 SMA memang selalu pulang paling belakang menjelang UAN.

“ Dia tidak mungkin menunggu ku, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin “ aku mengucapkannya 
berkali-kali sambil berjalan.

“ Karin “

Dan aku melihatnya di sana sedang duduk di atas motornya. Dia memanggilku dengan bersemangat dengan senyuman maut yang lebih bersinar dari biasanya.

“ Ayo naik. “ katanya

“ Kenapa bapak menungguku, bisa saja aku tidak datangkan? “ kataku

“ Aku yakin kamu akan datang, makanya selama apapun pasti ku tunggu. Apa lagi ini Cuma sejam “

Deg,

Kata-katanya benar-benar mematikan

Aku bahkan tidak bisa lagi merasakan detak jantungku.

Begitu turun dari motor, ia melepas jaket kulitnya dan memakaikannya padaku. Seakan aku barang rapuh yang harus di lindungi. Lalu ia menepuk – nepuk jok belakang untuk mengajakku naik. Aku , aku bahkan tak bisa bergerak, seandainya ini hanya basa-basi kebaikan seorang guru pada muridnya. Aku lebih memilih tidak ingin bertemu lagi dengannya.

“ Katakan saja di sini apa yang ingin anda katakan. “ ucapku datar.

Kulepas kembali jaket yang ia pakaikan dan menyodorkan lagi padanya. “ Aku bisa pulang sendiri “.

“ Baik kita bicara di sini, “ ia menyetujui usulku tapi tidak menerima uluran jaket dariku,

Aku harus bicara apa? Aku tidak berani memulai pembicaraan mengenai kesalah pahamaman ini. Padahal aku yang ngotot untuk bicara disini. Selama hampir satu menit kami terdiam, suasana sekolah sangat sepi. Hingga bunyi desiran angin dapat ku dengar.

“ Maaf “ akhirnya ia yang mengucapkan kata-kata itu duluan.

Padahal aku sedang menyusun kalimat pertama di otakku. Tapi satu kalimat darinya memecah sebongkah es dalam dadaku. Seakan-akan kalimat itu adalah radiasi matahari yang sangat panas hingga mampu melelehkan segala kebekuan otak dan hatiku. Kenapa ia yang harus minta maaf duluan. Seharusnya aku, kan aku yang salah.

“ Saya yang minta maaf, Pak. Kemarin saya sudah membentak bapak. Saya hanya tidak tahu kenapa perasaan saya begitu ingin marah dan meledak hingga seperti itu. Maaf. “

Entah wangsit dari mana hingga aku bisa mengeluarkan kalimat selancar itu di hadapannya. Tubuhku gemetar, aku sangat takut. Entah kenapa aku takut dia mengatakan bahwa ia tidak marah dan ia akan memahamiku selayaknya guru yang baik. Aku tidak ingin mendengar kalimat itu. Jadi sebelum ia berbicara segera kusambung kalimatku.

“ Saya rasa kesalah pahaman ini selesai. Saya hanya sedang tertekan waktu itu dan pikiran saya kacau. Jadi saya sangat-sangat minta maaf. “

Ku taruh jaketnya di stang motor dan berbalik. Baru selangkah aku menjauhinya, ia menahanku dengan tangannya yang mendekapku dari belakang. Tunggu dulu, ia MEMELUKKU dari belakang.

Waktu seakan berhenti bergerak saat ini.

Jantungku rasanya telah berhenti berdetak.

Paru-paruku berhenti memompa darah.

Otakku berhenti berfikir.

APA YANG IA LAKUKAN?!

“ Apa yang- “

“ Jangan bicara lagi, “ suaranya berat di telingaku. Dekapannya semakin kencang hingga aku tidak bisa bergerak.

“ Pak, lepaskan sa- “

“ Ku bilang jangan bicara, “ katanya lagi. “ dengarkanlah baik-baik “ perintahnya.

Aku terdiam, ku coba mengatur nafasku yang setengah-setengah ini.

“ Kamu bilang waktu itu bahwa aku sok perhatian, sok basa-basi baik, mempermainkan, membuat salah paham, aku ingin mendengar penjelasanmu. “

ITU JELAS TIDAK MUNGKIN, bagaimana bisa aku bilang aku galau karena sikapnya. AHHHH,,, ya ampun Tuhan tolong aku.

“ Baiklah, Aku tidak akan memaksamu menjawabnya. Akan ku katakan bahwa semua yang kulakukan adalah tulus dari hatiku. Semua 
yang kulakukan serius, tidak ada yang main-main. Aku benar-benar memperhatikan kamu, aku ingin selalu baik padamu. “

“ Justru itu yang saya tidak inginkan! “ akhirnya kata-kataku keluar. “ Saya tidak ingin salah paham dengan semua kebaikan hati Pak 
Rey, saya sudah sangat bingung dengan semua itu. Makanya waktu itu saya marah. Pak Rey adalah guru saya jadi saya mencoba mengartikan bahwa semua kebaikan itu adalah sewajarnya. Tapi jadinya hati saya yang sakit. Jadi saya mohon lep- “
“ Cinta, “ ia menghentikan kalimatku lagi dengan satu kata. “ Jangan menganggap aku guru, jangan menganggap semua itu adalah hal sewajarnya dari guru, itu semua karena aku mencintai Karin. “

Angin, berhembus lagi dan menerpa kami yang mematung dalam keheningan. Semua kalimat pembelaan yang kususun dalam otakku luntur dalam sekejap. Semua kalimatku hilang. Saat dia mengatakan satu kalimat itu. Entah kenapa perasaan ku jadi lega seperti bisul yang telah pecah. Dia mencintaiku, dia mencintaiku, come on!, aku tidak salah dengarkan? Entah kenapa air mata kelegaan mengalir dari mataku.

“ Aku minta maaf, membuat perasaan kamu bingung. Tidak perlu menjawabnya sekarang “ ujarnya sambil melepaskan dekapannya. “ aku akan menunggunya, “ ia berbalik dan melangkah menjauhiku menuju motornya. Tapi entah kenapa tanganku bergerak sendiri menarik ujung kemejanya.

Ia menoleh dan berbalik menatap ku lagi. Aku tidak mengeluarkan kalimat apa-apa. Rasa lega dan bahagia ini bercampur aduk menjadi satu hingga aku sendiri tidak tahu mengapa melangkah mendekatinya dan memegangi kemeja bagian depannya seakan takut ia menghilang di telan angin.

Sambil menagis ku ucapkan kalimat yang begitu ingin ku keluarkan sejak sore dimana aku melihatnya tersenyum saat hari privat ku yang pertama kali “ Aku juga mencintai Pak Rey “.

Tidak ada jawaban darinya, hanya tangannya yang kembali memelukku.
~~~###~~~

Setelah berhenti menangis ia mengantarkanku pulang kerumah. Dia langsung berbicara pada kakakku bahkan ibuku yang ada di rumah.

“ Mulai hari ini saya pacarnya Karin, “ katanya tanpa merasa malu sedikitpun.

Aku yang malu dan tidak tahu harus bilang apa. Ibu dan kakak hanya tertawa kegelian tidak jelas. Ia masih di rumahku hingga hampir jam tujuh malam. Ketika mau pulang aku mengantarnya sampai pintu gerbang.

“ Hati-hati di jalan Pak Rey-, eh, Kak Rey “ ucapku

“ Sudah ku bilang selain di sekolah, panggil aku kakak. Mengerti kan?. Ayo ulangi lagi.”

“ Buat apa? Tidak perlu! “ ku tolak dengan tegas, bagaimanapun juga aku belum terbiasa memanggilnya kakak.

 “ Ya sudahlah, oh iya. Kenapa kamu tidak mengangkat telpon ku. ?

 “ Eh? Memangnya Pak-, eh, Kak Rey pernah menelponku? “ tanyaku.

 “ Aku langsung menelpon kamu setelah pulang dari melayat. Aku butuh penjelasan kenapa kamu marah dan tiba-tiba ingin berhenti belajar privat. “ kemudian ia memegang pipiku dengan kedua tangannya. “ jangan pernah membuat perasaan ku kacau seperti hari itu lagi! “ pintanya sok romantis.

 “ Iya-iya, tapi, ngomong-ngomong nomor kakak berapa? Coba telpon aku lagi “

 “ Hhhhh, “ ia menghela nafas kecewa. “ Gadis macam apa yang tidak punya nomor kekasihnya. “ ejeknya.

Ia menekan nomorku, setelah ku tunggu beberapa detik ku kira akan muncul kombinasi angka dari nomor-nomor tak dikenal. Tapi ternyata yang muncul di layar handphoneku adalah nama,

“ ORANG ALAY “

Eh!!!!!!!!
~~~tamat~~~