HIDUP YANG BARU
Dia selalu mengenakan pakaian yang sama setiap hari, blouse
bunga-bunga dan tas hitam di padu sepatu teplek merah yang senada dengan warna
bunganya. Meskipun begitu mataku tidak bisa lepas darinya. Ia adalah wanita
misterius yang selalu berdiri di halte Bis depan kantorku. Sudah selama sebulan
ini aku mencoba mendekatinya. Meskipun setiap ku ajak mengobrol ia tidak
merespon sama sekali. Tapi, semua kemisteriusan wanita yang di anggap orang –
orang gila ini menggugahku. Bagiku wanita ini sama sekali tidak gila. Ia hanya
terlihat sedih, depresi dan terluka. Pasti ada alasannya kenapa ia setiap hari
berdiri di sini dengan tatapan kosong.
Sore hari itu ada yang berbeda, selain karena langit yang sangat
mendung wanita yang biasa berdiri di halte itu terlihat agak gelisah. Biasanya
ia akan berdiri dalam diam. Tapi kali ini ia terus-terusan melihat jam dengan
ekspresi kesal. Apa yang membuat hari ini berbeda dari biasanya? Hujan mulai
turun perlahan dan ia sama sekali tidak berteduh ke bagian dalam halte. Ia
terus berdiri rintik hujan yang mulai menderas.
Tergugah rasa simpati, aku berlari keluar dari kantor menuju halte
membawa payung. Aku hampir sampai ke tempatnya dalam beberapa langkah lagi,
sampai tiba-tiba ia berlari. Bukan ke arahku. Tapi ke arah jalan raya yang
sedang padat-padatnya. Ia berhenti di tengah-tengah dan menantang
kendaraan-kendaraan yang lewat untuk menabraknya. Ia ingin BUNUH DIRI .
“Hey, Mbak kembali!” aku bertriak panik.
“MINGGIR!” teriakan-teriakan panik lain juga muncul.
Jalanan semakin kacau dan bahkan beberapa mobil mengerem mendadak.
Hingga muncul sebuah bis besar yang tidak bisa mengendalikan kecepatannya.
Suara klakson bis itu sangat memekakan telinga “TEEEEEEET”.Tanpa pikir panjang
aku berlari menuju wanita itu dan menariknya ke trotoar. Jantungku berdetak
keras, sangat keras dan kesadaranku hilang ketika kepalaku membentur aspal.
Aku tidak sadarkan diri untuk beberapa lama, karena ketika akhirnya
mataku terbuka hari sudah gelap dan aku tengah berbaring di rumah sakit. Di
kamar ku sudah ada ayah dan adik perempuanku yang masih SMA. Adikku langsung
menghapiriku dari sofa ketika aku sadar. “Mas, baik-baik saja? ada yang sakit?
Mas haus? Mas mau apa?” pertanyaannya memberondongku yang baru saja sadar.
Aku hanya menggeleng dua kali untuk menjawap pertanyaanya. Tubuhku
serasa remuk redam dan bahkan kepalaku pening sekali. Ayah segera memanggilkan
dokter untuk memeriksa keadaanku. “Alhamdulillah, sepertinya kondisi Mas Rama
sudah lewat dari masa kritis.” Kata Dokter Ari. “Sebaiknya Mas Rama kembali
beristirahat dulu ya.” Lanjutnya setelah saling pandang dengan ayahku dengan
cara yang mencurigakan.
Masa kritis? Apakah
keadaanku begitu parah? Ketika Dokter Ari beranjak pergi, aku ingin menahannya.
Tanganku terulur untuk menyentuh tubuh Dokter Aji tapi tidak sampai. Kemudian
aku berniat bangkit dari tempat tidur “Dok, apakah kondi....” tapi aku tidak
dapat bergerak, aku terkejut dan tidak meneruskan kalimatku. Ayah dan dokter
berhenti di depan pintu kamar dan tidak jadi keluar.
Aku tersadar, ada yang salah dengan diriku. Tubuhku begitu lemah
tak berdaya dan aku tidak bisa bergerak. Dari mataku dapat kulihat kilatan
petir yang menyambar kesadaranku. Rentetan kecelakaan itu kembali berputar di
kepalaku. Meski aku berhasil melemparkan diri ke sisi trotoar tapi kakiku
sempat tertabrak bemper bis besar itu. mungkinkah...... aku lumpuh.
Kusibakkan selimut yang menutupi kakiku.... mataku terbelalak,
kepalaku semakin pening dan kosong. Kedua kakiku masih ada, tapi sama sekali
tidak bisa bergerak. “Dokter, apa saya lumpuh?” tanyaku langsung padanya. Dia
tidak menjawab tapi mendatiku perlahan.
“Saya akan menjelaskan semuanya, anda harus tenang dulu.”
“Jawab saya!” bentakku. “Saya akan lumpuh selamanya?!”
“Mas Rama, tenang dulu Mas.” Vera adikku mengelus punggungku
berkali-kalli untuk menenangkan ku.
“JAWAB!” teriakanku mengagetkan semua orang.
Malam itu berakhir sungguh menyakitkan. Kehidupanku akan berakhir
di sini, karirku, cita-citaku, segalanya. Mereka bilang aku masih bisa
berjalan. Masih ada kemungkinan bahwa aku akan dapat berjalan, asalkan aku
sering datang ke rumah sakit untuk latihan. Tapi itu hanya harapan kosong yang
disampaikan semua orang agar aku tidak patah semangat. Semuanya hanya kasihan
padaku.
Malam itu kusuruh Ayah dan Vera pulang agar aku bisa menenangkan
diriku sendiri. Apakah aku menyesal menolong wanita itu? dimana dia sekarang?
Apakah dia baik-baik saja? kenapa justru aku mengkhawatirkannya? Seharusnya aku
marah, marah padanya? Tidak, aku tidak mungkin marah padanya.... aku yang
melibatkan diriku untuk menolongnya. Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan
saat ini. di satu sisi aku ingin marah pada kebodohanku sendiri karena menolong
wanita itu hingga menyebabkan kelumpuhannku. Tapi di sisi lain aku merasa tidak
bisa menyalahkan diriku sendiri ataupun wanita itu karena aku memang wajib
untuk menolong nyawa manusia.
Air mataku turun perlahan, aku laki-laki. Tapi aku sangat rapuh.
Saat ini aku layaknya ranting yang rapuh. Sekali injak maka seluruh tubuh dan
jiwaku akan hancur. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa, diriku, wanita itu
atau keaadaan? Tuhan, apa rencanamu sebenarnya?
Malam berlalu dengan cepat hingga matahari pagi telah kembali
bersinar menyambut hari yang baru. Ibu kali ini sudah datang dari pagi untuk
menemaniku. Berkali-kali ia menyebutkan tentang rehabilitasi kakiku. Ia bilang
aku akan sembuh dan dapat berjalan kembali. Tapi, entah kenapa pikiranku terasa
kosong sekali, berkali-kali aku menjawab ibu dalam hatiku bahwa semua itu tak kan
pernah terjadi. Tak akan.
“Tok tok tok” seseorang mengetuk pintu sambil membukanya.
Aku melihat seorang wanita paruh baya seperti ibuku masuk ke dalam.
Ia menyalami ibuku dan mengajak ibuku untuk berbicara di luar kamar. Akhirnya
aku sendirian di kamar ini. mataku tak berhenti memandang ke arah jendela
dengan gordennya yang putih dan berkibar-kibar karena angin. Ketika pintu di
buka kembali ku kira ibuku akan masuk. Ternyata yang masuk ke kamarku adalah
orang lain. Wanita itu.
Tubuhku semakin membeku. Mataku terpaku padanya. Dia berbeda dari
sebelumnya. Wajahnya lebih berekspresi, meski kepalanya di perban dan tangannya
kirinya di gips tapi aura kecantikannya tak sirna. Dia memandang ke arahku
takut-takut dan berjalan perlahan. Dari matanya dapat kulihat air mata yang ia
coba tahan di pelupuk matanya.
Aku masih tidak tahu harus berbuat apa, dan harus bagaimana. Tapi
kemudian suaraku keluar “Kemarilah, kita belum berkenalan sama sekali”. Ia
semakin mendekat dan berhenti tepat di sisi ranjangku. “Namaku Rama, aku
bekerja di kantor yang berada di depan halte tempat biasa anda berdiri”
“Maaf....”suara wanita itu bergetar karena takut, air matanya
perlahan menetes. “Maafkan saya... gara-gara saya anda jadi seperti ini.
seharusnya saya lah yang mati.” katanya sambil berurai air mata.
“Jangan katakan anda ingin mati jika anda benar-benar menyesal.”
Suara ketusku keluar ketika mendengar kalimat “mati”. “Hiduplah baik-baik dan
hargai kehidupan kedua anda.” Seperti bukan diriku saja ketika aku mengeluarkan
kalimat ini di sela-sela keputus asaanku.
Ia semakin keras menangis setelah mendengar kalimatku. Aku tidak
tahu apa masalahnya, apa kesulitannya. Tapi yang pasti ia juga mengalami
masa-masa sulit yang membuatnya sangat putus asa. Dia hampir membunuh dirinya
sendiri di tengah-tengah keputus asaannya. Apakah aku hanya akan berakhir
seperti dirinya? Apakah aku akan menyerah dengan keadaanku yang seperti ini?
“Orang bilang kadang keajaiban itu bisa terjadi” kalimat Ibu tadi
pagi saat menceramahiku. Munkinkah? Aku tertohok dengan kalimat ku
sendiri “Hiduplah baik-baik dan hargai kehidupan kedua anda”. Bukankah
aku sendiri juga baru saja mendapat kesempatan hidup kedua. Hidup setelah lolos
dari maut.
Hellen Keller yang dari lahir telah cacat saja bisa menjadi orang
terkenal yang menginspirasi semua orang. Kenapa aku tidak, apa lagi aku masih
memiliki kesempatan untuk bisa berjalan. Bukankah setiap detik waktu sangat
berharga hingga sayang sekali untuk disia-siakan dengan berputus asa. Aku tidak
hanya menasihati wanita ini, tapi juga menasihati diriku sendiri untuk bangkit
dan menyongsong hidup yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar