Selasa, 22 Juli 2014

A PRINCE WITH A WHITE HORSE


Laki-laki itu! Rina berteriak dalam hati melihat seorang laki-laki gagah, dengan kemeja hitam menghampirinya yang sedang duduk di sebuah café sendirian. Latar belakang music di café saat ini juga sedang tidak mendukung sama sekali. Suara Bruno Mars mengalun lembut dengan lagu Talking to the moonnya yang membuat suasana galau makin galau tak karuan.
 Jantung Rina berdetak tak karuan seiring langkah kaki laki-laki gagah itu. Dari jauh ia telah tersenyum pada Rina. Tidak! Sadarlah Rina! Itu bukan dia, bukan dia. Please God, it’s not him.
“Rina!” suara baritone beratnya seperti menyetrum jantung Rina hingga kering.
“Hay, Hen.” Rina tersenyum canggung memandang laki-laki yang pernah mencuri hatinya itu.
Hendri menarik kursi didepan Rina dan duduk disana tanpa diundang. Seperti biasa ia menebar senyum manisnya yang meluluhkan hati setiap wanita yang melihatnya. Rina tidak menampik bahwa bagian dari wajah Hendri yang membuatnya sangat terpesona adalah mata. Mata hitam kelam yang selalu menunjukan api semangat untuk bermimpi setinggi-tingginya.
“Akhinya kita ketemu setelah sekian lama.” Katanya memulai pembicaraan.
“Ehmm, iya,” jawab Rina canggung.
Tangan Rina tak henti-hentinya memainkan sedotan di dalam gelas ice cappucinonya. Ia gugup, lebih gugup dari saat mengikuti lomba nyanyi tingkat kelurahan dulu.
“Bagaimana kabar kamu?” ia kembali memulai pembicaraan yang terasa canggung itu.
“Baik Hen, kamu sendiri bagaimana?”
“Aku….” Ia terdiam sejenak sambil memandangi Rina, “Bagiku, tidak ada yang baik sejak saat itu….”
Hati Rina tersentak, memang tidak ada yang baik sejak “saat itu”, tapi seharusnya dia yang berkata seperti itu.
“……” Rina tidak membalas kata-kata Hendri.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau akan kuliah di Jakarta juga. Aku terkejut melihat kamu disini tadi.”
Hendri benar, Rina tidak mengabari laki-laki ini sedikitpun bahwa ia akan kuliah di Jakarta juga. Rina ingin melangkah maju kedepan dengan merubah imej gadis desanya. Dan menunjukan pada semua orang bahwa ia bisa hidup di Jakarta dan menjadi sukses. Tidak, bukan untuk menunjukan pada semua orang, lebih tepatnya untuk menunjukan perubahannya pada Hendri.
“Iya, maaf.” Hanya itu jawaban Rina.
“Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba kamu meninggalkan ku seperti itu.” Akhirnya ia benar-benar masuk ke topik itu.
“Itu kan sudah masa lalu Hen, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi kan.”
“Bagiku satu tahun itu bukan waktu yang lama.”
Rina terdiam, matanya memandang cappucinonya yang kecoklatan. Ia tidak berani memandang wajah Hendri sedikitpun. Kenapa Rina harus takut dan ragu? Bukan ia yang salah atas apa yang terjadi kan? Bukan aku yang salah kan? Tidak, bukan!
“Aku tidak tahu apa yang salah, aku sudah menjaga hubungan kita meski aku harus bertahan dalam hubungan jarak jauh.” Ia kembali mengeluh.
Rina membenci nada dan suara Hendri ketika ia berbicara saat ini. Suaranya yang berat dan sangat manly, kelembutannya, sikap gentlenya semua yang ada padanya sangat Rina benci. Ia ingat saat itu, iya tepat satu tahun lalu ketika Rina masih harus seorang anak lulusan SMA yang tidak bisa langsung kuliah.
“Ayo kita putus saja Hen,” Suara Rina bergetar saat mengucapkan kalimat itu di depan Hendri.
Hendri terdiam dan mematung tidak percaya. Dia baru saja pulang dari Jakarta ke kampung dan langsung pergi menemui Rina. Tapi, kata putus yang harus ia dapatkan. Suara jangkrik bahkan terdengar lebih keras dari pada Rina. Seketika, rasa dinginnya malam lebih menusuk dari pada malam-malam sebelumnya hingga membekukan jantung Hendri.
“Kenapa?” Hendri memandang kekasihnya dalam-dalam.
“Kamu bisa konsentrasi kuliah lebih baik lagi. Dari pada harus pacaran jarak jauh sama aku.”
“Ini karena omongan ibu yang banding-bandingin kamu dengan ku gara-gara kamu ga kuliah? Iya kan? Udahlah Rin, jangan diambil hati. Kamu juga semester depan sudah bisa kuliah kan? Please, jangan ngomong putus” ia setengah mengiba pada Rina.
Rina berdiri dan memandang langsung ke arah mata Hendri, malam itu ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan pernah lagi terperosok pada tatapan mata Hendri. “Kita putus, dan itu keputusan final ku.”
Mengingat kejadian satu tahun lalu membuat dada Rina kembali sakit. Karena mengingat moment putus itu ia harus mengingat alasan kenapa ia memutuskan Hendri. Hendri yang perfect, yang tampan, yang jadi pujaan gadis satu kampung. Rina telah membuang laki-laki se-sempurna itu jauh dari hidupnya.
“Sebaiknya kamu pergi sekarang karena temanku akan segera datang Hen,” Rina berusaha mengusir Hendri jauh dari tempat duduknya untuk kembali pada teman-teman nongkrongnya di meja seberang. Rina bisa melihat teman-teman Hendri sedang mencuri-curi pandang ke arahnya berkali-kali.
“Tidak, sebelum kamu menjawab kenapa kamu putus denganku.” Tangannya segera menggenggam tangan Rina. “Aku ingin kita balikan lagi.”
“Untuk apa? Karena aku sudah bukan gadis kampung lagi? Atau karena aku sekarang cukup pantas untuk dipamerkan keliling kampung?” Rina menarik tangannya dengan kasar.
“Kamu terlalu negative thingking Rin, aku sama sekali tidak mengubris masalah itu. Atau jangan-jangan kamu mutusin aku juga karena pikiran seperti itu,” ia berusaha menebak-nebak pikiran Rina.
Rina tidak menjawab, tidak. Bukan itu tentu saja. Rina wanita kuat yang sanggup menahan cacian dan celaan siapa saja padanya. Tapi tidak untuk kebohongan dan pengkhianatan. Tidak untuk laki-laki yang telah menipunya.
“Sebaiknya kamu pergi, sebelum kamu menyesal.”
“Rin-“ kata-katanya terhenti ketika mendengar suara seorang wanita mendekat.
“Rina maaf lama ya.” Wanita modis dengan rambut panjang itu mendekati Rina.
Rina melambaikan tangannya sambil tersenyum. Tersenyum penuh kemenangan baik pada wanita itu maupun pada Hendri. Laki-laki itu terkejut melihat si wanita mendekat. Ia segera berdiri dengan canggung dan mendadak bingung. Ingin lari tapi tak bisa, ingin tetap di tempat tapi ia terlanjur tertangkap basah.
“Lohh, sayang kamu ada disini?” si wanita sama terkejutnya dengna Hendri.
“Kamu kenal dia Fer?” Tanya Rina.
“Ya iyalah, dia kan pacarku. Kamu kenal dia Rina?”
“Ya, kebetulan kami satu kampung. Aku gak sangka bakalan ketemu disini” kalimat Rina menggantung penuh arti yang hanya dipahami oleh Hendri. “Ohh ini pacar kamu yang kamu bilang paling awet ya? Sudah berapa lama? aku sampai lupa cerita kamu.”
“Sudah hampir dua tahun lohh, keren kan. Kalau lancar dia bilang mau ngelamar aku loh.” Fera tersenyum sambil mengamit lengan Hendri.
Hendri tersenyum canggung pada Fera. Ya. Dia sudah pacaran dengan Fera sejak pertama kali ia menginjakan kakinya sebagai mahasiswa baru di kampus. Ia berhasil mendekati Fera tanpa ada rintangan yang berarti dengan mengandalkan ketampanannya.
“Oh iya, kalau tidak salah aku pernah dengar ceritanya kok dari Budi dan Anton teman SMA kami dulu kalau Hendri punya pacar yang cantik dan kaya. Jadi itu kamu toohh. Kamu mau gabung Hendri? Kebetulan aku dan Fera mau ngerjain tugas. Yah maklumlah aku kan masih junior di jurusannya Fera.” Suara Rina kini bagaikan pisau bagi Hendri.
Hendri segera menolak ajakan Rina dan lebih memilih untuk kembali pada teman-temannya. Tapi, sesekali ia masih berusaha mencuri pandang kearah Rina dan Fera. Ia penasaran apakah Rina sudah tahu sejak dulu bahwa ia selingkuh? Apakah Rina sengaja datang kesini untuk balas dendam kepadanya. Sialan, kebodohan apa yang ia lakukan saat mengajak Rina balikan lagi tadi? Hendri benar-benar terpesona melihat Rina secantik itu sekarang, ia bukan lagi gadis lugu yang mudah dibohongi.
Rina masih duduk di Café itu bahkan setelah Fera pulang. Ia melihat Hendri juga masih nongkrong bersama teman-temannya dan hanya mengantarkan Fera ke parkiran. Hendri dengan penuh tanya kembali mendatangi Rina. “Kamu sengaja ya?” kini suara lembutnya telah hilang dan berganti menjadi nada kesal.
“Tidak,” Rina tidak lagi menunduk atau mengaduk-aduk sedotannya. Ia kini memandang langsung ke arah mata Hendri.
“Lalu maksud kamu apa?” tanya Hendri
“Aku hanya tidak sengaja bertemu kamu disini. Aku juga tidak pernah cerita apa-apa ke Fera.” Jawab Rina dengan tenang.
“Bohong, kamu sengaja kan datang kesini untuk membalasku, untuk menerorku.”
Rina terdiam dan tersenyum sinis sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu over confidence Hen, buat apa aku datang jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk mengejar bayangan kamu? Aku punya cita-cita sendiri yang bukan hanya sebuah mimpi tapi juga harus jadi nyata.”
Rina memandang jauh kedalam mata Hendri. Mata penuh mimpi yang menjeratnya. Tapi kini ia telah lepas dari mata itu dan tidak akan pernah terjebak pada mimpi semata. Ia akan berusaha meraih mimpinya.
“Kamu pasti ingin merusak hubunganku dengan Fera.” Ia masih ngotot dengan pendapatnya.
“Aku, mungkin pernah berfikir seperti itu saat datang ke Jakarta. Atau bahkan saat aku bertemu dengan kamu tadi. Tapi aku bukan perempuan rendahan yang berfikiran picik seperti itu. Aku sudah bilangkan kalau itu semua masa lalu. Apa yang telah lalu biarlah berlalu.”
Rina mengakui, bahwa ia berusaha membuktikan dirinya pada orang lain terutama Hendri. Tapi, kemudian ia hanya merasa kosong. Bahkan setelah membalas Hendri seperti tadi ia hanya merasakan kemenangan kosong yang tidak berarti. Ia terlalu memikirkan kemalangannya tanpa menyadari bahwa ia memiliki beribu kebagaiaan dan kesempatan yang menantinya dimasa depan. Ia harus mencoba untuk menikmati keindahan hidupnya sendiri tanpa dipusingkan oleh hal-hal yang tidak penting seperti ini.
“Aku akan pegang kata-kata kamu! Jangan sampai kamu mengganggu hubunganku dengan Fera”
“Hahahaha,”
“Kenapa kamu tertawa? Apanya yang lucu?”
“Tidak ada.” Jawab Rina sambil mengangkat bahunya.
Tapi, tentu saja ada yang lucu. Setelah sebelumnya Hendri memohon-mohon kembali pada Rina, kini ia mengancam Rina agar jangan mengganggunya. Bahkan sifat aslinya yang belum pernah Rina lihat kini muncul kepermukaan. Betapa menyedihkannya kamu Hen
Rina bersyukur Anton dan Budi teman SMA Rina yang juga kuliah di universitas ini memberitahukan segala keburukan Hendri padanya. Jika bukan karena dua teman Rina itu mungkin saat ini Rina sudah tenggelam dalam tipu daya dan jerat jaring laba-laba milik Hendri tanpa tahu kebenarannya.
Dendam, kebencian, atau bahkan iri hati dan dengki adalah penyakit hati. Perasaan-perasaan itu akan membutakan diri kita dari kebaikan orang lain. Selalu memandang orang lain buruk dan bahkan membuat kita hanya terpaku untuk menyaingi orang itu saja. Pada akhrinya kita akan terlupa bahwa lebih baik kita melupakan semua itu dan memandang kebaikan dan kebahagiaan yang ada di sekitar kita. Berusaha menyukai dan mensyukuri apa yang kita punya. Dan pada saatnya nanti ketika luka itu datang menyapa, akan ada seribu alasan bagi kita untuk tetap tersenyum dan melangkah maju kedepan tanpa melihat kebelakang.
Perlahan-lahan music di café berganti memperdengarkan lagu white horse milik Taylor Swift.
I am not a Princess, this ain’t fairy tale
I am not the one you’ll sweep off her feet,
Lead her up the stairwell.
This ain’t Hollywood, this is a small town,
I was a dreamer before you went and let me down,
Now it’s too late for you and your white horse to come around.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar