Laki-laki itu!
Rina berteriak dalam hati melihat seorang laki-laki gagah, dengan kemeja hitam
menghampirinya yang sedang duduk di sebuah café sendirian. Latar belakang music
di café saat ini juga sedang tidak mendukung sama sekali. Suara Bruno Mars
mengalun lembut dengan lagu Talking to
the moonnya yang membuat suasana galau makin galau tak karuan.
Jantung Rina berdetak tak karuan seiring langkah kaki
laki-laki gagah itu. Dari jauh ia telah tersenyum pada Rina. Tidak! Sadarlah Rina! Itu bukan dia, bukan
dia. Please God, it’s not him.
“Rina!” suara baritone
beratnya seperti menyetrum jantung Rina hingga kering.
“Hay, Hen.” Rina tersenyum
canggung memandang laki-laki yang pernah mencuri hatinya itu.
Hendri menarik kursi didepan
Rina dan duduk disana tanpa diundang. Seperti biasa ia menebar senyum manisnya
yang meluluhkan hati setiap wanita yang melihatnya. Rina tidak menampik bahwa
bagian dari wajah Hendri yang membuatnya sangat terpesona adalah mata. Mata hitam
kelam yang selalu menunjukan api semangat untuk bermimpi setinggi-tingginya.
“Akhinya kita ketemu setelah
sekian lama.” Katanya memulai pembicaraan.
“Ehmm, iya,” jawab Rina
canggung.
Tangan Rina tak
henti-hentinya memainkan sedotan di dalam gelas ice cappucinonya. Ia gugup, lebih gugup dari saat mengikuti lomba
nyanyi tingkat kelurahan dulu.
“Bagaimana kabar kamu?” ia
kembali memulai pembicaraan yang terasa canggung itu.
“Baik Hen, kamu sendiri
bagaimana?”
“Aku….” Ia terdiam sejenak
sambil memandangi Rina, “Bagiku, tidak ada yang baik sejak saat itu….”
Hati Rina tersentak, memang
tidak ada yang baik sejak “saat itu”, tapi seharusnya dia yang berkata seperti
itu.
“……” Rina tidak membalas
kata-kata Hendri.
“Kenapa kamu tidak bilang
kalau akan kuliah di Jakarta juga. Aku terkejut melihat kamu disini tadi.”
Hendri benar, Rina tidak
mengabari laki-laki ini sedikitpun bahwa ia akan kuliah di Jakarta juga. Rina
ingin melangkah maju kedepan dengan merubah imej gadis desanya. Dan menunjukan
pada semua orang bahwa ia bisa hidup di Jakarta dan menjadi sukses. Tidak,
bukan untuk menunjukan pada semua orang, lebih tepatnya untuk menunjukan
perubahannya pada Hendri.
“Iya, maaf.” Hanya itu
jawaban Rina.
“Aku tidak tahu kenapa
tiba-tiba kamu meninggalkan ku seperti itu.” Akhirnya ia benar-benar masuk ke
topik itu.
“Itu kan sudah masa lalu
Hen, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi kan.”
“Bagiku satu tahun itu bukan
waktu yang lama.”
Rina terdiam, matanya
memandang cappucinonya yang kecoklatan. Ia tidak berani memandang wajah Hendri
sedikitpun. Kenapa Rina harus takut dan ragu? Bukan ia yang salah atas apa yang
terjadi kan? Bukan aku yang salah kan?
Tidak, bukan!
“Aku tidak tahu apa yang
salah, aku sudah menjaga hubungan kita meski aku harus bertahan dalam hubungan
jarak jauh.” Ia kembali mengeluh.
Rina membenci nada dan suara
Hendri ketika ia berbicara saat ini. Suaranya yang berat dan sangat manly, kelembutannya, sikap gentlenya
semua yang ada padanya sangat Rina benci. Ia ingat saat itu, iya tepat satu
tahun lalu ketika Rina masih harus seorang anak lulusan SMA yang tidak bisa
langsung kuliah.
“Ayo kita putus saja Hen,”
Suara Rina bergetar saat mengucapkan kalimat itu di depan Hendri.
Hendri terdiam dan mematung
tidak percaya. Dia baru saja pulang dari Jakarta ke kampung dan langsung pergi
menemui Rina. Tapi, kata putus yang harus ia dapatkan. Suara jangkrik bahkan
terdengar lebih keras dari pada Rina. Seketika, rasa dinginnya malam lebih
menusuk dari pada malam-malam sebelumnya hingga membekukan jantung Hendri.
“Kenapa?” Hendri memandang
kekasihnya dalam-dalam.
“Kamu bisa konsentrasi
kuliah lebih baik lagi. Dari pada harus pacaran jarak jauh sama aku.”
“Ini karena omongan ibu yang
banding-bandingin kamu dengan ku gara-gara kamu ga kuliah? Iya kan? Udahlah
Rin, jangan diambil hati. Kamu juga semester depan sudah bisa kuliah kan?
Please, jangan ngomong putus” ia setengah mengiba pada Rina.
Rina berdiri dan memandang
langsung ke arah mata Hendri, malam itu ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak
akan pernah lagi terperosok pada tatapan mata Hendri. “Kita putus, dan itu
keputusan final ku.”
Mengingat kejadian satu
tahun lalu membuat dada Rina kembali sakit. Karena mengingat moment putus itu
ia harus mengingat alasan kenapa ia memutuskan Hendri. Hendri yang perfect,
yang tampan, yang jadi pujaan gadis satu kampung. Rina telah membuang laki-laki
se-sempurna itu jauh dari hidupnya.
“Sebaiknya kamu pergi
sekarang karena temanku akan segera datang Hen,” Rina berusaha mengusir Hendri
jauh dari tempat duduknya untuk kembali pada teman-teman nongkrongnya di meja
seberang. Rina bisa melihat teman-teman Hendri sedang mencuri-curi pandang ke
arahnya berkali-kali.
“Tidak, sebelum kamu
menjawab kenapa kamu putus denganku.” Tangannya segera menggenggam tangan Rina.
“Aku ingin kita balikan lagi.”
“Untuk apa? Karena aku sudah
bukan gadis kampung lagi? Atau karena aku sekarang cukup pantas untuk
dipamerkan keliling kampung?” Rina menarik tangannya dengan kasar.
“Kamu terlalu negative thingking Rin, aku sama sekali
tidak mengubris masalah itu. Atau jangan-jangan kamu mutusin aku juga karena
pikiran seperti itu,” ia berusaha menebak-nebak pikiran Rina.
Rina tidak menjawab, tidak.
Bukan itu tentu saja. Rina wanita kuat yang sanggup menahan cacian dan celaan
siapa saja padanya. Tapi tidak untuk kebohongan dan pengkhianatan. Tidak untuk
laki-laki yang telah menipunya.
“Sebaiknya kamu pergi,
sebelum kamu menyesal.”
“Rin-“ kata-katanya terhenti
ketika mendengar suara seorang wanita mendekat.
“Rina maaf lama ya.” Wanita
modis dengan rambut panjang itu mendekati Rina.
Rina melambaikan tangannya
sambil tersenyum. Tersenyum penuh kemenangan baik pada wanita itu maupun pada
Hendri. Laki-laki itu terkejut melihat si wanita mendekat. Ia segera berdiri
dengan canggung dan mendadak bingung. Ingin lari tapi tak bisa, ingin tetap di
tempat tapi ia terlanjur tertangkap basah.
“Lohh, sayang kamu ada
disini?” si wanita sama terkejutnya dengna Hendri.
“Kamu kenal dia Fer?” Tanya
Rina.
“Ya iyalah, dia kan pacarku.
Kamu kenal dia Rina?”
“Ya, kebetulan kami satu
kampung. Aku gak sangka bakalan ketemu disini” kalimat Rina menggantung penuh
arti yang hanya dipahami oleh Hendri. “Ohh ini pacar kamu yang kamu bilang
paling awet ya? Sudah berapa lama? aku sampai lupa cerita kamu.”
“Sudah hampir dua tahun
lohh, keren kan. Kalau lancar dia bilang mau ngelamar aku loh.” Fera tersenyum
sambil mengamit lengan Hendri.
Hendri tersenyum canggung
pada Fera. Ya. Dia sudah pacaran dengan Fera sejak pertama kali ia menginjakan
kakinya sebagai mahasiswa baru di kampus. Ia berhasil mendekati Fera tanpa ada
rintangan yang berarti dengan mengandalkan ketampanannya.
“Oh iya, kalau tidak salah
aku pernah dengar ceritanya kok dari Budi dan Anton teman SMA kami dulu kalau
Hendri punya pacar yang cantik dan kaya. Jadi itu kamu toohh. Kamu mau gabung
Hendri? Kebetulan aku dan Fera mau ngerjain tugas. Yah maklumlah aku kan masih
junior di jurusannya Fera.” Suara Rina kini bagaikan pisau bagi Hendri.
Hendri segera menolak ajakan
Rina dan lebih memilih untuk kembali pada teman-temannya. Tapi, sesekali ia masih
berusaha mencuri pandang kearah Rina dan Fera. Ia penasaran apakah Rina sudah
tahu sejak dulu bahwa ia selingkuh? Apakah Rina sengaja datang kesini untuk
balas dendam kepadanya. Sialan, kebodohan apa yang ia lakukan saat mengajak
Rina balikan lagi tadi? Hendri benar-benar terpesona melihat Rina secantik itu
sekarang, ia bukan lagi gadis lugu yang mudah dibohongi.
Rina masih duduk di Café itu
bahkan setelah Fera pulang. Ia melihat Hendri juga masih nongkrong bersama
teman-temannya dan hanya mengantarkan Fera ke parkiran. Hendri dengan penuh
tanya kembali mendatangi Rina. “Kamu sengaja ya?” kini suara lembutnya telah
hilang dan berganti menjadi nada kesal.
“Tidak,” Rina tidak lagi
menunduk atau mengaduk-aduk sedotannya. Ia kini memandang langsung ke arah mata
Hendri.
“Lalu maksud kamu apa?”
tanya Hendri
“Aku hanya tidak sengaja
bertemu kamu disini. Aku juga tidak pernah cerita apa-apa ke Fera.” Jawab Rina
dengan tenang.
“Bohong, kamu sengaja kan
datang kesini untuk membalasku, untuk menerorku.”
Rina terdiam dan tersenyum sinis
sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu over
confidence Hen, buat apa aku datang jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk
mengejar bayangan kamu? Aku punya cita-cita sendiri yang bukan hanya sebuah
mimpi tapi juga harus jadi nyata.”
Rina memandang jauh kedalam
mata Hendri. Mata penuh mimpi yang menjeratnya. Tapi kini ia telah lepas dari
mata itu dan tidak akan pernah terjebak pada mimpi semata. Ia akan berusaha
meraih mimpinya.
“Kamu pasti ingin merusak
hubunganku dengan Fera.” Ia masih ngotot dengan pendapatnya.
“Aku, mungkin pernah
berfikir seperti itu saat datang ke Jakarta. Atau bahkan saat aku bertemu
dengan kamu tadi. Tapi aku bukan perempuan rendahan yang berfikiran picik
seperti itu. Aku sudah bilangkan kalau itu semua masa lalu. Apa yang telah lalu
biarlah berlalu.”
Rina mengakui, bahwa ia
berusaha membuktikan dirinya pada orang lain terutama Hendri. Tapi, kemudian ia
hanya merasa kosong. Bahkan setelah membalas Hendri seperti tadi ia hanya
merasakan kemenangan kosong yang tidak berarti. Ia terlalu memikirkan
kemalangannya tanpa menyadari bahwa ia memiliki beribu kebagaiaan dan
kesempatan yang menantinya dimasa depan. Ia harus mencoba untuk menikmati
keindahan hidupnya sendiri tanpa dipusingkan oleh hal-hal yang tidak penting
seperti ini.
“Aku akan pegang kata-kata
kamu! Jangan sampai kamu mengganggu hubunganku dengan Fera”
“Hahahaha,”
“Kenapa kamu tertawa? Apanya
yang lucu?”
“Tidak ada.” Jawab Rina
sambil mengangkat bahunya.
Tapi, tentu saja ada yang
lucu. Setelah sebelumnya Hendri memohon-mohon kembali pada Rina, kini ia
mengancam Rina agar jangan mengganggunya. Bahkan sifat aslinya yang belum
pernah Rina lihat kini muncul kepermukaan. Betapa
menyedihkannya kamu Hen…
Rina bersyukur Anton dan Budi
teman SMA Rina yang juga kuliah di universitas ini memberitahukan segala
keburukan Hendri padanya. Jika bukan karena dua teman Rina itu mungkin saat ini
Rina sudah tenggelam dalam tipu daya dan jerat jaring laba-laba milik Hendri
tanpa tahu kebenarannya.
Dendam, kebencian, atau
bahkan iri hati dan dengki adalah penyakit hati. Perasaan-perasaan itu akan
membutakan diri kita dari kebaikan orang lain. Selalu memandang orang lain
buruk dan bahkan membuat kita hanya terpaku untuk menyaingi orang itu saja.
Pada akhrinya kita akan terlupa bahwa lebih baik kita melupakan semua itu dan
memandang kebaikan dan kebahagiaan yang ada di sekitar kita. Berusaha menyukai
dan mensyukuri apa yang kita punya. Dan pada saatnya nanti ketika luka itu
datang menyapa, akan ada seribu alasan bagi kita untuk tetap tersenyum dan
melangkah maju kedepan tanpa melihat kebelakang.
Perlahan-lahan music di café berganti memperdengarkan
lagu white horse milik Taylor Swift.
I am not a Princess, this ain’t fairy tale
I am not the one you’ll sweep off her feet,
Lead her up the stairwell.
This ain’t Hollywood, this is a small town,
I was a dreamer before you went and let me down,
Now it’s too late for you and your white horse to come around.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar