Selasa, 22 Juli 2014

A PRINCE WITH A WHITE HORSE


Laki-laki itu! Rina berteriak dalam hati melihat seorang laki-laki gagah, dengan kemeja hitam menghampirinya yang sedang duduk di sebuah café sendirian. Latar belakang music di café saat ini juga sedang tidak mendukung sama sekali. Suara Bruno Mars mengalun lembut dengan lagu Talking to the moonnya yang membuat suasana galau makin galau tak karuan.
 Jantung Rina berdetak tak karuan seiring langkah kaki laki-laki gagah itu. Dari jauh ia telah tersenyum pada Rina. Tidak! Sadarlah Rina! Itu bukan dia, bukan dia. Please God, it’s not him.
“Rina!” suara baritone beratnya seperti menyetrum jantung Rina hingga kering.
“Hay, Hen.” Rina tersenyum canggung memandang laki-laki yang pernah mencuri hatinya itu.
Hendri menarik kursi didepan Rina dan duduk disana tanpa diundang. Seperti biasa ia menebar senyum manisnya yang meluluhkan hati setiap wanita yang melihatnya. Rina tidak menampik bahwa bagian dari wajah Hendri yang membuatnya sangat terpesona adalah mata. Mata hitam kelam yang selalu menunjukan api semangat untuk bermimpi setinggi-tingginya.
“Akhinya kita ketemu setelah sekian lama.” Katanya memulai pembicaraan.
“Ehmm, iya,” jawab Rina canggung.
Tangan Rina tak henti-hentinya memainkan sedotan di dalam gelas ice cappucinonya. Ia gugup, lebih gugup dari saat mengikuti lomba nyanyi tingkat kelurahan dulu.
“Bagaimana kabar kamu?” ia kembali memulai pembicaraan yang terasa canggung itu.
“Baik Hen, kamu sendiri bagaimana?”
“Aku….” Ia terdiam sejenak sambil memandangi Rina, “Bagiku, tidak ada yang baik sejak saat itu….”
Hati Rina tersentak, memang tidak ada yang baik sejak “saat itu”, tapi seharusnya dia yang berkata seperti itu.
“……” Rina tidak membalas kata-kata Hendri.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau akan kuliah di Jakarta juga. Aku terkejut melihat kamu disini tadi.”
Hendri benar, Rina tidak mengabari laki-laki ini sedikitpun bahwa ia akan kuliah di Jakarta juga. Rina ingin melangkah maju kedepan dengan merubah imej gadis desanya. Dan menunjukan pada semua orang bahwa ia bisa hidup di Jakarta dan menjadi sukses. Tidak, bukan untuk menunjukan pada semua orang, lebih tepatnya untuk menunjukan perubahannya pada Hendri.
“Iya, maaf.” Hanya itu jawaban Rina.
“Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba kamu meninggalkan ku seperti itu.” Akhirnya ia benar-benar masuk ke topik itu.
“Itu kan sudah masa lalu Hen, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi kan.”
“Bagiku satu tahun itu bukan waktu yang lama.”
Rina terdiam, matanya memandang cappucinonya yang kecoklatan. Ia tidak berani memandang wajah Hendri sedikitpun. Kenapa Rina harus takut dan ragu? Bukan ia yang salah atas apa yang terjadi kan? Bukan aku yang salah kan? Tidak, bukan!
“Aku tidak tahu apa yang salah, aku sudah menjaga hubungan kita meski aku harus bertahan dalam hubungan jarak jauh.” Ia kembali mengeluh.
Rina membenci nada dan suara Hendri ketika ia berbicara saat ini. Suaranya yang berat dan sangat manly, kelembutannya, sikap gentlenya semua yang ada padanya sangat Rina benci. Ia ingat saat itu, iya tepat satu tahun lalu ketika Rina masih harus seorang anak lulusan SMA yang tidak bisa langsung kuliah.
“Ayo kita putus saja Hen,” Suara Rina bergetar saat mengucapkan kalimat itu di depan Hendri.
Hendri terdiam dan mematung tidak percaya. Dia baru saja pulang dari Jakarta ke kampung dan langsung pergi menemui Rina. Tapi, kata putus yang harus ia dapatkan. Suara jangkrik bahkan terdengar lebih keras dari pada Rina. Seketika, rasa dinginnya malam lebih menusuk dari pada malam-malam sebelumnya hingga membekukan jantung Hendri.
“Kenapa?” Hendri memandang kekasihnya dalam-dalam.
“Kamu bisa konsentrasi kuliah lebih baik lagi. Dari pada harus pacaran jarak jauh sama aku.”
“Ini karena omongan ibu yang banding-bandingin kamu dengan ku gara-gara kamu ga kuliah? Iya kan? Udahlah Rin, jangan diambil hati. Kamu juga semester depan sudah bisa kuliah kan? Please, jangan ngomong putus” ia setengah mengiba pada Rina.
Rina berdiri dan memandang langsung ke arah mata Hendri, malam itu ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan pernah lagi terperosok pada tatapan mata Hendri. “Kita putus, dan itu keputusan final ku.”
Mengingat kejadian satu tahun lalu membuat dada Rina kembali sakit. Karena mengingat moment putus itu ia harus mengingat alasan kenapa ia memutuskan Hendri. Hendri yang perfect, yang tampan, yang jadi pujaan gadis satu kampung. Rina telah membuang laki-laki se-sempurna itu jauh dari hidupnya.
“Sebaiknya kamu pergi sekarang karena temanku akan segera datang Hen,” Rina berusaha mengusir Hendri jauh dari tempat duduknya untuk kembali pada teman-teman nongkrongnya di meja seberang. Rina bisa melihat teman-teman Hendri sedang mencuri-curi pandang ke arahnya berkali-kali.
“Tidak, sebelum kamu menjawab kenapa kamu putus denganku.” Tangannya segera menggenggam tangan Rina. “Aku ingin kita balikan lagi.”
“Untuk apa? Karena aku sudah bukan gadis kampung lagi? Atau karena aku sekarang cukup pantas untuk dipamerkan keliling kampung?” Rina menarik tangannya dengan kasar.
“Kamu terlalu negative thingking Rin, aku sama sekali tidak mengubris masalah itu. Atau jangan-jangan kamu mutusin aku juga karena pikiran seperti itu,” ia berusaha menebak-nebak pikiran Rina.
Rina tidak menjawab, tidak. Bukan itu tentu saja. Rina wanita kuat yang sanggup menahan cacian dan celaan siapa saja padanya. Tapi tidak untuk kebohongan dan pengkhianatan. Tidak untuk laki-laki yang telah menipunya.
“Sebaiknya kamu pergi, sebelum kamu menyesal.”
“Rin-“ kata-katanya terhenti ketika mendengar suara seorang wanita mendekat.
“Rina maaf lama ya.” Wanita modis dengan rambut panjang itu mendekati Rina.
Rina melambaikan tangannya sambil tersenyum. Tersenyum penuh kemenangan baik pada wanita itu maupun pada Hendri. Laki-laki itu terkejut melihat si wanita mendekat. Ia segera berdiri dengan canggung dan mendadak bingung. Ingin lari tapi tak bisa, ingin tetap di tempat tapi ia terlanjur tertangkap basah.
“Lohh, sayang kamu ada disini?” si wanita sama terkejutnya dengna Hendri.
“Kamu kenal dia Fer?” Tanya Rina.
“Ya iyalah, dia kan pacarku. Kamu kenal dia Rina?”
“Ya, kebetulan kami satu kampung. Aku gak sangka bakalan ketemu disini” kalimat Rina menggantung penuh arti yang hanya dipahami oleh Hendri. “Ohh ini pacar kamu yang kamu bilang paling awet ya? Sudah berapa lama? aku sampai lupa cerita kamu.”
“Sudah hampir dua tahun lohh, keren kan. Kalau lancar dia bilang mau ngelamar aku loh.” Fera tersenyum sambil mengamit lengan Hendri.
Hendri tersenyum canggung pada Fera. Ya. Dia sudah pacaran dengan Fera sejak pertama kali ia menginjakan kakinya sebagai mahasiswa baru di kampus. Ia berhasil mendekati Fera tanpa ada rintangan yang berarti dengan mengandalkan ketampanannya.
“Oh iya, kalau tidak salah aku pernah dengar ceritanya kok dari Budi dan Anton teman SMA kami dulu kalau Hendri punya pacar yang cantik dan kaya. Jadi itu kamu toohh. Kamu mau gabung Hendri? Kebetulan aku dan Fera mau ngerjain tugas. Yah maklumlah aku kan masih junior di jurusannya Fera.” Suara Rina kini bagaikan pisau bagi Hendri.
Hendri segera menolak ajakan Rina dan lebih memilih untuk kembali pada teman-temannya. Tapi, sesekali ia masih berusaha mencuri pandang kearah Rina dan Fera. Ia penasaran apakah Rina sudah tahu sejak dulu bahwa ia selingkuh? Apakah Rina sengaja datang kesini untuk balas dendam kepadanya. Sialan, kebodohan apa yang ia lakukan saat mengajak Rina balikan lagi tadi? Hendri benar-benar terpesona melihat Rina secantik itu sekarang, ia bukan lagi gadis lugu yang mudah dibohongi.
Rina masih duduk di Café itu bahkan setelah Fera pulang. Ia melihat Hendri juga masih nongkrong bersama teman-temannya dan hanya mengantarkan Fera ke parkiran. Hendri dengan penuh tanya kembali mendatangi Rina. “Kamu sengaja ya?” kini suara lembutnya telah hilang dan berganti menjadi nada kesal.
“Tidak,” Rina tidak lagi menunduk atau mengaduk-aduk sedotannya. Ia kini memandang langsung ke arah mata Hendri.
“Lalu maksud kamu apa?” tanya Hendri
“Aku hanya tidak sengaja bertemu kamu disini. Aku juga tidak pernah cerita apa-apa ke Fera.” Jawab Rina dengan tenang.
“Bohong, kamu sengaja kan datang kesini untuk membalasku, untuk menerorku.”
Rina terdiam dan tersenyum sinis sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu over confidence Hen, buat apa aku datang jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk mengejar bayangan kamu? Aku punya cita-cita sendiri yang bukan hanya sebuah mimpi tapi juga harus jadi nyata.”
Rina memandang jauh kedalam mata Hendri. Mata penuh mimpi yang menjeratnya. Tapi kini ia telah lepas dari mata itu dan tidak akan pernah terjebak pada mimpi semata. Ia akan berusaha meraih mimpinya.
“Kamu pasti ingin merusak hubunganku dengan Fera.” Ia masih ngotot dengan pendapatnya.
“Aku, mungkin pernah berfikir seperti itu saat datang ke Jakarta. Atau bahkan saat aku bertemu dengan kamu tadi. Tapi aku bukan perempuan rendahan yang berfikiran picik seperti itu. Aku sudah bilangkan kalau itu semua masa lalu. Apa yang telah lalu biarlah berlalu.”
Rina mengakui, bahwa ia berusaha membuktikan dirinya pada orang lain terutama Hendri. Tapi, kemudian ia hanya merasa kosong. Bahkan setelah membalas Hendri seperti tadi ia hanya merasakan kemenangan kosong yang tidak berarti. Ia terlalu memikirkan kemalangannya tanpa menyadari bahwa ia memiliki beribu kebagaiaan dan kesempatan yang menantinya dimasa depan. Ia harus mencoba untuk menikmati keindahan hidupnya sendiri tanpa dipusingkan oleh hal-hal yang tidak penting seperti ini.
“Aku akan pegang kata-kata kamu! Jangan sampai kamu mengganggu hubunganku dengan Fera”
“Hahahaha,”
“Kenapa kamu tertawa? Apanya yang lucu?”
“Tidak ada.” Jawab Rina sambil mengangkat bahunya.
Tapi, tentu saja ada yang lucu. Setelah sebelumnya Hendri memohon-mohon kembali pada Rina, kini ia mengancam Rina agar jangan mengganggunya. Bahkan sifat aslinya yang belum pernah Rina lihat kini muncul kepermukaan. Betapa menyedihkannya kamu Hen
Rina bersyukur Anton dan Budi teman SMA Rina yang juga kuliah di universitas ini memberitahukan segala keburukan Hendri padanya. Jika bukan karena dua teman Rina itu mungkin saat ini Rina sudah tenggelam dalam tipu daya dan jerat jaring laba-laba milik Hendri tanpa tahu kebenarannya.
Dendam, kebencian, atau bahkan iri hati dan dengki adalah penyakit hati. Perasaan-perasaan itu akan membutakan diri kita dari kebaikan orang lain. Selalu memandang orang lain buruk dan bahkan membuat kita hanya terpaku untuk menyaingi orang itu saja. Pada akhrinya kita akan terlupa bahwa lebih baik kita melupakan semua itu dan memandang kebaikan dan kebahagiaan yang ada di sekitar kita. Berusaha menyukai dan mensyukuri apa yang kita punya. Dan pada saatnya nanti ketika luka itu datang menyapa, akan ada seribu alasan bagi kita untuk tetap tersenyum dan melangkah maju kedepan tanpa melihat kebelakang.
Perlahan-lahan music di café berganti memperdengarkan lagu white horse milik Taylor Swift.
I am not a Princess, this ain’t fairy tale
I am not the one you’ll sweep off her feet,
Lead her up the stairwell.
This ain’t Hollywood, this is a small town,
I was a dreamer before you went and let me down,
Now it’s too late for you and your white horse to come around.

Sabtu, 04 Januari 2014

My Long Distance Relationship Story

Ctak ctak ctak!
Keypad Blackberry tersayangku akhirnya harus menanggung kekesalan dan kemarahanku. Jempolku menekan tombol-tombolnya dengan kasar dan tidak hati-hati. Padahal bagian tombol huruf A sebenarnya sudah lepas. Maklum saja blackberry uzur ini sudah kupakai sejak 3 tahun lalu saat Radit harus pergi kuliah ke Jogja.
Kami menjalani pacaran jarak jauh atau bahasa betawinya itu LDR, Long Distance Relationship. Wajar saja kalau BB menjadi alat komunikasi kami berdua yang sangat penting. Terutama dengan adanya aplikasi BBM itu. Mulai dari berantem dan sayang-sayangan ada di history chat bbmku dan dia. Umur pacaranku juga terbilang lama berkat bbm yang selalu setia menjembatani komunikasi kami.
“Itu hanya masalah sepele, Dit” -R
Tia 3.12 pm

“Kamu jalan sama Jonathan dan kamu bohong ke aku?” -R
Radit 3.12 pm

“Habis kamu suka over protective dan khawatir berlebihan!” –R
Tia 3.13 pm

“Wajar dong, aku kan pacar kamu! Aku bisa khawatir karena hal-hal kecil apa lagi mendengar pacarku jalan dengan cowok yang naksir dia tanpa bilang-bilang” -R
Radit 3.13 pm

“Ya udah sih Dit, ini sepele” -R
Tia 3.14 pm

Kubalas BBM dari Radit dengan singkat karena kekesalanku padanya. Detik berikutnya tanda D (Delivered) langsung berubah jadi R (Read).
“Harusnya kamu bilang ke aku, supaya aku ngak cemas. Apa susahnya sih pinjem handphone Rita?! Dan bilang sejujurnya” -D
Balasan darinya langsung datang tanpa kutunggu. Tapi aku membiarkannya tanpa membuka bbm  itu sama sekali.
Kletak!
Sialnya, tombol huruf A milikku kembali lepas.
“Ughh!!!” ku genggam erat-erat Blackberry butut milikku dengan kesal dan berencana ingin membantingnya. Alih-alih membantingnya ke lantai aku membantingnya ke kasur.
“Ping!”
“Ping”
“Ping”
Lagi, Blackberryku berkicau karena bbm Radit yang kuacuhkan. Mataku melirik kesal ke arah handphone di atas bantal. Pertengkaran seperti ini tidak akan terjadi jika saja dia tidak mengungkit-ungkit masalah kemarin. Mungkin sebagian dari masalah ini memang salahku. Tapi.... tidak! Tidak ini bukan salahku! Dia yang membuat kesal dan terlalu over protective! Yah, entah siapa yang salah tapi kalau di ingat-ingat dari awal mungkin ini memang salahku
Akhirnya dengan enggan kuambil Blackberry butut plus uzurku. Dan pelan-pelan kupasang lagi tombol huruf A nya. Perasaan miris pada handphone ku membuatku mengingat akar permasalahan dari “perang”ku kali ini. Permasalahan itu dimulai ketika di pagi hari saat ingin berangkat kuliah aku  lupa membawa power bank ku.
“Great!! BB ku sekarat!” aku mengeluh pada Rita saat pulang kuliah sore harinya. Segera ku aduk-aduk isi tasku untuk mencari power bankku. “Hahhhh,, ketinggalannn!!”
“Dit, handphone ku sebentar lagi mati. Mungkin sampai jam sepuluh malam nanti aku baru pulang soalnya aku ingin pergi ke Sevel bersama Rita untuk mengerjakan tugas.”
Seketika itu juga usai mengirim bbm itu, handphoneku mati. Well, yang penting aku sudah kirim pesan  padanya. Meski sebenarnya pesan itu bohong sihh.. saat ini aku bukan dalam perjalanan menuju Sevel untuk mengerjakan tugas tapi, menuju Mall di kawasan Pondok Indah untuk nonton filmnya Christ Hemsworth yang ganteng itu. Dan lebih parahnya lagi aku nonton bareng dengan Jonathan. Kenapa Jonatahan masuk dalam kategori parah? Karena ia naksir aku dan masih berusaha mendekatiku sampai sekarang.
“Aku aja yang bayar” Jonathan menolak uang tiket bioskop yang aku dan Rita sodorkan. “Sekali-kali aku traktir.” Tambahnya.
Aku memandangnya kikuk, dia jelas-jelas tersenyum kearahku, “Eeerrrrr,, “ bingung apa yang harus kuucapkan akhirnya aku  hanya bisa mengucapkan terima kasih. “Makasi.”
Dan selanjutnya yang paling parah adalah, aku lupa memberitahu Rita untuk berbohong pada Radit. Sudah pasti Radit akan segera mengecek  keberadaanku dimana, sedang apa dan bersama siapa pada Rita. Dan sialnya, Rita memberi tahuku bahwa Radit mengiriminya pesan saat di bagian tengah-tengah film yang sedang seru-serunya.
“Pasti sebenarnya adiknya belum  mati. Tidak mungkin adiknya mati begitu saja di tangan alien tidak jelas!” komentarku pada Rita.
Rita yang ku ajak bicara tidak menjawabku dan justru sibuk mengirimi pesan dari Handphonenya. “Hemm, kamu ngomong apa tadi?” tanyanya
“’Gak ada siaran ulang!” ujarku kesal dan setengah bercanda.
“Sorry, sorry.. ini pacarmu tuh si Radit dari tadi ngirm sms ke aku terus!”
Deg-
Jantungku hampir copot mendengar namanya.
EH! MAMPUS! Ujarku dalam hati, “Dia sms apa?”
Dengan segera perhatianku teralihkan dari si seksi Christ Hemsworth menuju layar handphone Rita.
Rita, sedang bersama Tia ga?
Send: Radit 08.09 pm

Iya Dit, kenapa?”
Send: Rita 08.10 pm

Sudah selesai belum mengejakan tugasnya? Kalian sudah pulang?
Send: Radit 08.10pm

Loh? Kami sedang nonton kok bukan ngerjain tugas.
Send: Rita 08.11pm

Oh, sama siapa?”
Send: Radit 08.12pm

Bertiga sama Jonathan,
Send: Rita 08.12pm

Kalau sudah mau pulang kirimi aku pesan.
Send: Radit 09.14 pm

Itu dia akar permasalahan seriusku kali ini. Hasilnya begitu blackberry uzurku menyala di rumah ia langsung menelponku dan marah-marah. Karena kesal akhirnya ku tutup saja sambungannya dan kami meneruskan pertengkaran kami lewat BBM. Sampai jari-jari mau putus rasanya mengetik bbm untuk Radit sejak semalam.
Jakarta dan Jogja, mungkin jarak yang terlalu jauh membuat kami saling terus mengecek satu sama lain. Bayangkan, orang yang berpacaran satu kampus dan setiap hari ketemu saja masih saling mengecek satu sama lain. Apalagi kami yang harus terpisah jarak beratus-ratu  kilo meter yaitu sekitar 551km.
Pada akhirnya aku sendiri yang mulai galau. Hatiku ketar-ketir dan tak karuan lagi. Masalah kali ini akulah penyebabnya. Dan, aku semakin tidak tahan untuk segera memperbaiki hubungan kami. Bertengkar adalah hal biasa bagi kami, dan secepat itu pula kami berbaikan. Terutama karena Radit orang yang dewasa dan banyak mengalah padaku. Mungkin kali ini memang aku yang berlebihan.
Setelah lumayan lama memandangi layar handphone, aku memutuskan untuk menelpon Radit terlebih dahulu.
Tuutt Tuuuttt Tuuuttt “Halo” Suara Radit terdengar di seberang. Nada suaranya agak sedikit kesal.
“Radit, ak-“
PET! Layar handphone mendadak gelap dan tak terdengar suara apa-apa lagi.
Aku belum selesai bicara tiba-tiba blackberry uzurku mati. Dia nge-hang lagi. “What the-“ aku marah-marah dan hampir memaki dalam bahasa inggris. Berkali-kali ku coba untuk menyalakannya tapi BB uzur itu tidak mau menyala. Apa-apaan coba?! Disaat genting seperti ini, dia sama sekali tidak bisa diajak kompromi dan bekerjasama.
“Arggghhh!!” aku berteriak frustasi.
Bagaimana jika ia marah besar dan akhirnya memutuskanku? Apa yang harus ku lakukan? Aku memeluk gulingku erat-erat dan mulai menangis.
Masih ku ingat saat Radit menyatakan perasaannya padaku di hari kelulusan SMA. Seusai kelulusan ia mengajakku ke ke Mall di kawasan Pondok Indah. Aku bisa mengingat betapa nervousnya dia saat itu. Tangannya berkeringat dan  ia banyak mengerutkan keningnya. Bahkan suaranya terbata dan bergetar.
“Ti, aku pikir aku menyukai kamu” katanya ragu-ragu
Jelas, aku tertawa dalam hati mendengar ia bicara. “jadi kamu hanya berfikir bahwa kamu menyukai aku, bukan menyukai ku benar-benar?” kataku menggodanya. Aku sebenarnya paham betul bahwa ia benar-benar menyukaiku ia hanya kesulitan untuk mencari kata-kata yang pas agar dapat mengungkapkannya padaku.
“Errrr” ia terkejut, wajahnya panik “bukan itu maksudku. Aku benar-benar menyukai kamu. Serius” ia menyemburkan kalimatnya dengan cepat dalam satu tarikan nafas.
Aku tersenyum simpul dan sebenarnya agak malu, “Aku juga menyukai kamu Dit” jawabku sambil menundukan kepala.
Ia tersenyum sangat lebar dan hampir tertawa bahagia saat mendengar pengakuanku. Ia pasti sangat senang dengan fakta bahwa kami telah resmi menjadi sepasang kekasih. Tapi kemudian tiba-tiba wajahnya kembali berubah serius. “ Tapi, ada satu hal penting yang ingin aku katakan”
“Apa?” tanyaku.
Ia ragu-ragu sejenak, tapi kemudian ia tetap berbicara “Kita, harus menjalani hubungan kita dari jauh, LDR maksudku”
“Aku tahu,” ia terlihat terkejut mendengar jawabanku, “Sony yang bilang ke aku bahwa kamu diterima kuliah di UGM” dan aku hanya bisa tersenyum pahit.
Ia terdiam cukup lama. “Kamu masih mau pacaran sama aku kan?” tanyanya.
Aku tersenyum dan mengangguk, “Ayo kita coba,” ujarku. “Kita bisa saling memberi kabar dengan cara saling telpon, sms atau bahkan lewat chatting internet. Bahkan kita bisa video call lewat Skype. Banyak cara yang bisa kita lakukan.”
Ia tersenyum lega, “Setuju”
“Kita juga harus saling jujur dan mengatakan apapun perasaan kita. Tidak boleh berselingkuh. tidak boleh berbohong atau apapun tindakan buruk yang akan mengancam hubungan kita. Janji?” tanyaku sambil mengangkat jari kelingking ku.
Ia mengangguk dan  mengaitkan kelingkingnya ke kelingkingku, “Pinky swear!” kataku.
Aku tidak pernah menjalani hubungan normal karena kami hanya bisa bertemu beberapa bulan sekali. Jakarta terasa hampa tanpa Radit, aku sadar itu. Apa lagi kalau malam  minggu datang. Di saat teman-temanku pergi dengan pacar mereka aku harus mendekam di kamarku dan pacaran lewat telpon. Lebih menggenaskan lagi ketika aku makan di Cafe atau tempat nongkrong lain dan harus disuguhkan pasangan muda-mudi yang sedang asik bercengkrama. Seketika itu juga rasa rinduku membuncah keluar dan membuatku galau setengah mati. Tapi pasti Radit juga mengalami hal yang sama di sana. Ia juga galau dan rindu padaku.
Setiap malam  ia sering bercerita tentang Jogjakarta yang ramai akan wisatawa. Juga tentang tempat-tempat wisatanya. Terutama sekali ia ingin mengajak aku jalan-jalan di jalan Malioboro yang terkenal. Ketika malam tiba angkringan di sana sangat ramai. Tak jauh beda dengan di Jakarta. Tentu saja disana juga ramai pasangan kasmaran yang bermesraan. Teman-temannya bahkan sampai mengatai Radit Jomblo imitasi. Karena ia terlihat jomblo tapi sebenarnya memiliki pacar.
Air mataku semakin mengalir deras. Padahal aku yang mengusulkan janji itu waktu itu. Tapi aku sendiri yang berbohong padanya karena keegoisanku yang ingin nonton gratis dengan memanfaatkan Jonathan. Semua ini memang aku yang salah. Padahal selama ini, ia telah mengusahakan yang terbaik bagiku. Menelponku setiap malam, kadang ia menemaniku membuat tugas lewat Skype. Bahkan ia yang selalu meminta maaf duluan dalam setia pertengkaran kami meskipun aku yang salah. Wajar saja jika saat ini ia sangat marah.
Aku tidak boleh menyerah begitu saja untuk bicara padanya. Dengan tekad bulat aku pergi ke dapur menemui ibuku yang sedang memasak. “Bu, aku pinjam handphone dong, mau telpon Radit. Handphoneku mati” kataku.
“Kartu milik ibukan lain operator,” suara ibu terdengar khawatir.
“Nanti aku ganti deh pulsanya, ya, ya ya” aku merajuk.
Akhirnya ibu mengangguk. Aku tersenyum dan segera berlari kembali ke kamar sambil membawa hanphone ibu. Dengan nervous aku duduk di atas kasur dan menekan nomor Radit yang sudah ku hapal di luar kepala, yang bahkan nomor ibu, ayah dan kakakku saja aku tidak hafal hahaha, kataku dalam hati.
Lama aku menunggu dan Radit tidak mengangkatnya sama sekali. Air mataku kembali menggenang dan hatiku semakin kalut. Kali ini aku yakin betul bahwa pertengkaran ini akan menjadi yang terakhir karena ia akan memutuskanku.
“Ummiii Ummmiiii Ummiiii” handphone ibu bergetar di atas kasur dan suara ringtonenya terdengar. Itu adalah lagu Ummi yang dinyanyikan Hadad Alwi dan Sulis dulu. Kulihat layarnya dan ternyata itu Radit. Dengan segera ku angkat telponnya.
“Ha-Hallo” suaraku bergetar.
Ia belum menjawa hinga keadaan hening tanpa satu patah katapun terdengar darinya. Akhirnya yang ada malah suara tangisku yang pecah. “Aku minta maaf,, hiks, hiks, iya aku yang salah aku minta maaf” kataku sambil menangis.
“Jangan ulangi lagi” akhirnya ia bersuara dengan lembut. “Jangan buat aku khawatir dan cemburu lagi.” Tambahnya.
“Iya, hiks hiks. Kamu masih marah?”
“Tidak,” jawabnya, “Tadi saat sambungan kita terputus aku segera menelpon Rita. Dan Rita menjelaskan segalanya tentang kemarin. Aku rasa aku yang terlalu takut dan cemburu.”
Ia berhenti bicara sejenak dan menarik nafas, “Ayo kita lupakan saja pertengkaran kemarin kita sudah sama-sama dewasa dan mengerti bahwa itu hanya masalah sepele. Dan tidak akan mengganggu hubungan kita sama sekali.” sambungnya.
“Iya,” kataku singkat.
“Dan jangan menelpon menggunakan nomor Ibu, pulsa Ibu bisa habis nanti.” Pesannya.
“Kamu!, disaat seperti ini masih mengkhawatirkan pulsa Ibu.” Aku tertawa.
“Aku rindu kamu.” Ia mengucapkannya dengan lembut yang membuat jantungku berdegup lebih kecang.
Pada akhirnya malam itu aku dan Radit dapat berbaikan lagi meski BB uzurku tidak pernah bisa bangun lagi. Dan tentu saja aku dan Radit masih suka bertengkar kadang-kadang bahkan karena masalah sepele seperti lama respon telpon, sms atau bbm, padahalkan kerjaan kita ngak Cuma pegang hp doang? Benarkan?. Bahkan sampai hal-hal serius tentang masa depan, kuliah dan keluarga. Tapi, karena kami sama-sama sadar bahwa kami jauh, jadi kalau marahan tidak akan bertahan lama. Paling lama satu jam stop komunikasi dan setelah itu kembali seperti biasa.

“Haahhhh, Aku KANGEN Radit!” teriakku frustasi dari kamar.

_______________________
Nb: Ucapan terimakasih buat Siti Maunah yang udah ngasih inspirasi