Selasa, 23 Juli 2013

My Delicious Obento

Aku telambat.
Berlari-lari di pagi hari membuat Sakura lelah setengah mati. Sakura belum pernah terlambat sebelumnya. Ini gara-gara Sakura harus membuat obento[1] untuk Takeshi-kun. Seharusnya Sakura bangun lebih awal tadi. Takeshi-kun baaka[2]!. Lima belas menit lagi sekolah masuk sedangkan Sakura baru akan sampai tiga puluh menit lagi.
“Tiiinnnn Tiiinnnn Tiiinnnn!!!” Sebuah motor mengklakson Sakura dari belakang. Dari suara mesinnya Sakura tau pasti bahwa itu motor Takeshi tetangganya.
Takeshi menghentikan motornya di depan Sakura dan menyodorkan helm berwarna hitam. “Ohaiyo[3], Sakura! Butuh tumpangan?”
Mau tidak mau Sakura menerima ajakan Takeshi. Sakura kira Takeshi sudah berangkat dari tadi. Sakura masih merasa kesal pada teman sejak kecilnya ini. Seandainya kemarin dia tidak tiba-tiba bilang bahwa masakannya enak. Dan tidak bilang bahwa ia juga ingin obento buatan Sakura maka ia tidak akan pernah bersusah payah seperti ini.
Angin menerpa keduanya kencang karena Takeshi mengebut. Kebalikan dari Sakura, Takeshi selalu berangkat terlambat hingga orang tuanya membelikannya motor agar ia bisa tepat waktu datang ke sekolah. Di sekolah Sakuralah yang menjadi monitor bagi kedua orang tua Takeshi.
Perjalanan panjang yang selama ini Sakura tempuh hanya dalam 30 menit kini ia sudah sampai dalam 10 menit. Ia tidak berhenti berpegang pada Takeshi ketika mereka mengebut. Begitu sampai di parkiran Sakura segera turun dan berlari. “Takeshi-kun! Isoide kudasai[4]!” Sakura berteriak pada Takeshi.
Akhirnya Takeshi ikut berlari masuk ke dalam sekolah. Keduanya menuju loker sekolah dan meraih uwabaki[5] masing-masing. Tepat ketika mereka sampai di pintu kelas bel berbunyi. Nafas Sakura hampir putus karena berkejaran dengan waktu. Ia duduk di bangkunya dan meregangkan kakinya yang lelah. Takeshi duduk di belakangnya dengan santai.
“Hebat juga aku bisa datang tepat waktu!” Katanya.
“Apanya yang hebat?! Kita hampir terlambat!” Sakura meradang.
Tapi, dalam hati Sakura ia sangat senang. Ini pertama kalinya Takeshi memberikannya tumpangan ke sekolah dengan motor barunya. “Aku hanya mengizinkan orang spesialku untuk menaiki motor baru ini”. Sakura ingat betul kata-kata Takeshi beberapa waktu lalu itu. Meskipun pagi ini hanya suatu kebetulan belaka ia tidak perduli asalkan bisa di dekat Takeshi. Sakura tidak bisa bohong bahwa jantungnya berdetak kencang bukan hanya karena ia lelah, tapi juga karena Takeshi.
Miyano-Sensei masuk ke dalam kelas dan membuyarkan lamunannya. Ketua kelas Fujiwara-Kun memberi aba-aba pada semua murid agar memberikan salam. “Kiritsu[6]!” Seluruh murid berdiri. “Re[7]” kemudian mereka membungkuk. “Ohaiyo Gozaimasu! Sensei[8]
Miyano-Sensei memulai pelajaran dengan mengabsen seisi kelas. Ketika namanya berhenti di nama Takeshi Oda ia mengernyitkan keningnya heran. Sakura tahu pasti apa yang ada di pikiran Miyano-Sensei. Beliau heran bagaimana mungkin Takeshi tidak terlambat hari ini.
“Hai[9]! Sensei! Hari ini aku tidak terlambat!” Seakan dapat membaca pikiran Miyano-Sensei, Takeshi berkata lantang hingga membuat seisi kelas tertawa.
“Shitteimasu[10]!” jawab Miyano-Sensei pendek.
Miyano-Sensei mengajar pelajaran Sejarah Jepang. Takeshi tidak penah menyukai pelajaran ini, ia sulit untuk mengingat tahun dan nama-nama tokoh yang sangat banyak. Sebaliknya Sakura sangat menyukai pelajaran Sejarah Jepang. Kalau ada pelajaran yang Takeshi sangat sukai, itu adalah olah raga terutama basket. Ia adalah kapten tim basket yang sangat keren.
Tidak ada murid-murid di sekolah yang tidak mengenal Takeshi. Ia tampan dan keren. Prestasi terbaiknya dicapai ketika tahun lalu di kelas dua SMA dia membawa tim basketnya menjuarai kejuaraan basket nasional antar SMA. Berada di dekat Takeshi sebagai teman dari kecilnya sebenarnya membuat Sakura sangat minder.
Sakura hanya siswi biasa-biasa saja, dengan wajah pas-pasan menurutnya sendiri. Ia tidak pandai olah raga juga tidak terlalu menonjol di luar kelas selain prestasinya. Ia puas harus dikatai oleh teman-teman perempuannya sebagai kutu buku. Di kelas, satu-satunya sahabatnya adalah Rei-Chan.
“Seharusnya kamu akui saja perasaanmu itu pada Takeshi!” Rei-chan menasihati Sakura ketika istirahat siang.
Sakura sedang memandangi dua kotak obentonya. Ia tidak berani memanggil Takeshi yang sedang dikerumuni teman laki-lakinya. Bel baru saja berbunyi dan sepertinya mereka akan ke kantin sekolah untuk membeli obento.
Sakura menggeleng keras, “Dia hanya menganggapku teman dari kecil!” Katanya.
“Lalu sekarang kamu mau apakan dua kotak obento ini?” Rei-chan menunjuk kedua kotak itu dengan kesal. “Seharusnya Takeshi-kun ingat kalau dia meminta mu untuk membuatkan obento”
“Permisi, Oda-kun boleh aku bicara” Fuko gadis idola sekolah dari kelas sebelah tiba-tiba muncul di depan pintu kelas Sakura.
Semua anak terdiam dan mata mereka tertuju ke arah Fuko. Sepertinya ia ingin bicara berdua dengan Takeshi. “Nandesuka[11]?” Tanya Takeshi sambil meninggalkan kelas bersama dengan Fuko. Dari wajahnya Sakura dapat melihat Takeshi tersenyum lebar. Langkah kakinya cepat dan bahkan mendahului Fuko berjalan.
Jantung Sakura seakan ingin berhenti berdetak. Ternyata gosip bahwa Fuko akan menyatakan perasaannya pada Takeshi itu benar. Sakura semakin menundukan kepalanya dengan sedih dan hanya bisa memandangi obento buatannya. Rei-chan memandang sahabatnya dengan gemas. Bagaimana Takeshi tahu kalau Sakura menyukainya selama ini, jika temannya yang satu ini hanya diam saja.
“Ayo kita makan di atap sekolah, di sana lebih sepi dan suasananya enak.” Rei-chan menariknya setelah membawa obento milik mereka.
Sakura merasa lebih baik ketika angin kencang berhembus menerpa rambutnya. Setidaknya ia tidak harus mendengar berita heboh bahwa Takeshi menerima pernyataan cinta Fuko. Siapa yang tidak akan menyukai Fuko yang cantik dan manis itu? Seandainya Sakura adalah laki-laki mungkin tanpa pikir panjang ia akan segera menerima Fuko langsung.
Jam istirahat hampir berakhir ketika kedua gadis itu menghabiskan obento mereka. Sakura dan Rei ternyata sudah sangat kekenyangan dengan obento mereka sendiri dan tidak sanggup untuk menghabiskan obento milik Takeshi. Dengan kesal Rei mengocok-ngocok kotaknya keras-keras.
“Dasar laki-laki payah!” Rutuknya
“Berhenti mengocoknya Rei-chan!” Sakura segera meraih kotak itu.
Tanpa sadar keduanya telah sampai di kelas. Dan... tidak ada kehebohan apapun. Semua tampak biasa saja. Seharusnya kelas akan heboh dengan kabar pacarannya kedua idola sekolah itu. Sakura terkejut ketika Takeshi menghadangnya di depan mejanya.
“Kalian berdua dari mana saja?” Tanyanya penasaran.
“Makan siang!” jawab Rei ketus.
“Dokodesuka[12]?” tanyanya
“Di atap” jawab Sakura pelan sambil duduk di bangkunya.
“Hei, aku-“ belum selesai Takeshi bicara Shintani-Sensei telah masuk ke dalam kelas.
Sakura sebenarnya sangat penasaran dengan kata-kata Takeshi yang terputus itu. Apakah ia ingin mengatakan bahwa sekarang ia telah berpacaran dengan Fuko? Sepanjang kelas, ia tidak dapat berkonsentrasi. Dalam keheningan kelas yang sedang mendengarkan penjelasan Shintani-Sensei, Sakura dapat mendengar suara aneh dari perut seseorang.
Kriuk, Kriuk, Kriuk
Sakura agak menoleh kebelakang dan mendapati Takeshi memegangi perutnya yang berbunyi. Sepertinya hanya Sakura yang sadar suara perut Takeshi yang kelaparan. Wajah Takeshi memerah saat Sakura terkikik melihatnya. Ia memelototi Sakura dan menyuruhnya kembali memperhatikan pelajaran.
“Ini salahmu aku kelaparan!” Takeshi mendekatkan kepalanya kedepan dan berbicara dengan suara rendah.
Wajah Sakura memerah, sehingga ia menutupi wajahnya dengan buku Bahasa Inggris yang tebal. “Apa kau belum makan siang?” tanya Sakura.
“Mada Desu[13]” jawab Takeshi dan lagi, perutnya berbunyi.
“Hihihi... Hontou Desuka?[14]” tanya Sakura dengan tawa tertahan mendengar suara perut Takeshi lagi.
“Umino-san, Oda-san jika kalian berniat untuk mengobrol silahkan lanjutkan di koridor saja.”
Keduanya terkejut mendapat teguran tiba-tiba. “Maafkan kami Sensei” kompak keduanya meminta maaf.
“Kau tidak boleh pulang duluan nanti, tunggu aku di sini” Takeshi berbisik sekali lagi sebelum akhirnya keduanya kembali terdiam dengan serius dan mendengarkan pelajaran.
Ketika sekolah usai sekitar jam empat sore anak-anak mulai menuju klub mereka masing-masing. Begitu juga Takeshi yang menuju klub basketnya. Sakura sendiri juga segera menuju klub menjahitnya. Karena kegiatan mereka hari ini tidak terlalu penuh Sakura bisa minta izin untuk keluar duluan. Jarum jam menunjukan hampir pukul lima sore ketika ia kembali ke kelas. Takeshi belum menunjukan batang hidungnya.
Ia duduk di bangkunya sambil memandangi keluar melalui jendela. Di lapangan beberapa anak terlihat mulai meninggalkan sekolah. Sampai dua puluh menit kemudian Takeshi belum datang ke kelas. Apa mungkin ia meninggalkan Sakura sendirian? Sakura kembali menunggu dengan gelisah. Seharusnya kegiatan klub basket sudah selesai beberapa waktu yang lalu.
“Sakura!” suara Takeshi mengagetkan Sakura. Ia terlihat terengah-engah karena habis berlari. Tubuhnya berkeringat dan ia sangat kelelahan. “Syukurlah kamu masih disini,” katanya.
Ia segera menghampiri Sakura dan duduk di hadapannya. “Mana obentoku?” tanyanya dengan polos.
“Eeehhh?” Sakura bingung
“Bukankah kamu janji akan membuatkanku obento? Aku belum makan dari tadi siang dan aku kelaparan sekali. Aku sudah tidak tahan.”
“Ano[15], Takeshi kun... obentonya...” Sakura berkata ragu-ragu. Ia tidak mungkin menyerahkan obento berantakan dan bahkan mungkin sudah dingin dan tidak enak pada Takeshi.
“Sudahlah, mana? Aku lapar sekali! Tabetai desu![16]” ia berkata dengan riang.
Sakura akhirnya mengeluarkan obento yang ia buat. Wajahnya memerah ketika Takeshi melihat isinya yang berantakan. “Kelihatannya lezat! Itadakimasu[17]!” Takeshi tetap memakan obento dingin dan berantakannya dengan lahap. Sakura tidak dapat menahan wajahnya yang memerah dan bahkan ia tidak sanggup menyembunyikan air matanya yang hampir mengalir keluar.
“Takeshi-kun, aku rasa ini yang pertama dan terakhir kalinya aku membuatkan makanan untuk mu” Kata Sakura.
“Kenapa?” Takehsi menghentikan makannya tiba-tiba.
“Aku, aku...” Sakura tidak dapat melanjutkan kalimatnya dan berdiri. Sambil memunggungi Takeshi ia meneruskan kalimatnya dengan tangis yang tertahan. “..Aku tidak ingin mengganggu hubungan Takeshi dan Fuku nanti!” katanya. Tanpa jeda Sakura menarik tasnya dan berusaha berlari meniggalkan Takeshi.
Tapi, kecepatannya kalah dibandingkan dengan Takeshi. Tangan Takeshi telah menangkap pergelangan tangannya dan kini dengan kekuatannya menarik Sakura dalam jangkauan kedua tangannya. Keduanya berdiri berhadapan dengan tangan takeshi menggenggap kedua pergelangan tangan Sakura.
“Apa maksudmu Sakura?” tanyanya.
“Kalian berdua telah berpacaran kan? Pasti tadi Fuko menyakatan perasaannya padamu... aku tahu kalau kau pasti juga menyukainya. Jika di bandingkan Fuko, aku-“
“Berhenti bicara!” Takeshi membentak Sakura. “Fuko adalah Fuko dan Sakura adalah Sakura. Jangan membanding-bandingkan diri kalian! Kalian memiliki kelebihan masing-masing. Tidak akan ada manusia yang sempurna di dunia ini” Takeshi menceramahinya.
“Tapi, Fuko sangat cantik, pasti Takeshi menerimanya.” Air mata Sakura mulai berlinang.
“Siapa yang berhak menentukan pilihanku? Kamu bahkan tidak tahu siapa wanita yang ku sukai. Kenapa memutuskan seenaknya?! Aku tidak menyukai Fuko”
Keduanya terdiam. Hari semakin beranjak sore dan bahkan langit semakin memerah. Takeshi menarik lembut Sakura kedalam pelukannya. Hal ini membuat Sakura terkejut. “Ta, Takeshi?!” Sakura tergagap.
“Diam! Dan dengarkan!” perintahnya “Apa kau tahu, aku selalu berusaha bangun pagi agar bisa berangkat bersamamu. Tapi, aku selalu terlambat. Ketika aku punya motor aku berharap bisa berangkat lebih awal dan menjemputmu, tapi lagi-lagi kebiasaan buruk terlambat bangunku tidak bisa sembuh. Dan, tadi pagi aku sangat senang. Akhirnya aku mendapat kesempatan memboncengkanmu di motorku.”
Sakura mendengarkan perkataan Takeshi dengan seksama. Tapi, karena ia berada dalam pelukan Takeshi, debaran jantung Takeshi yang sangat cepat dapat terdengar dengan jelas. Ketika Sakura mencoba untuk melihat wajahnya, Takeshi segera membenamkan kepala sakura dengan tangannya ke dalam dadanya yang bidang.
“Aku malu, jadi jangan memandangku!” katanya. “Aku tidak bisa berbasa-basi lebih dari ini. Pada intinya aku hanya ingin mengatakan bahwa aku, aku menyukaimu. Suki Desu[18]
Sakura merasa bahwa sekarang bumi sedang berhenti berputar. Ia tidak mampu berkata apa-apa. Hatinya serasa meluap-luap penuh kegembiraan. Tangannya secara refleks memeluk Takeshi lebih erat. Jika Dewa mendengarkan. Tolong hentikan waktu sekarang juga. Ia tidak ingin moment ini berlalu begitu saja.
Tapi tiba-tiba... KRIUUUKKKK
Moment indah itu terhenti karena perut Takeshi yang keroncongan. Akhirnya Takeshi melanjutkan makannya. Sakura terus memandanginya dengan senang. “Takeshi-kun, daisuki desu[19]”. Mendengar perkataan Sakura yang tiba-tiba membuat Takeshi tersedak karena malu. Ia hanya bisa memalingkan wajahnya sambil minum.
Sore itu berjalan lebih lama dari yang pernah Sakura alami dalam hidupnya.. 





[1] Bekal makan siang ala Jepang
[2] Takeshi-kun bodoh!
[3] Selamat pagi
[4] Cepatlah sedikit!
[5] Sepatu khusus yang di gunakan di ruang kelas
[6] Berdiri
[7] Membungkuk
[8] Selamat pagi Bu guru!
[9] Ya!
[10] Saya tahu
[11] Ada apa?
[12] Dimana?
[13] Belum
[14] Benarkah?
[15] Anu...
[16] Aku mau makan!
[17] Selamat makan!
[18] Aku menyukaimu
[19] Aku sangat menyukaimu
[20] Terimakasih banyak, Dewa!

Kamis, 31 Januari 2013

Hidup Kedua


Hidup kedua
Jika dilahirkan kembali, apa yang kau inginkan? Ingin menjadi apa dirimu? Apakah tetap ingin kembali bersama ku? Pertanyaan itu berkali-kali ku ucapkan di depan makammu. Mas Bima, aku masih kesini setiap hari jam tiga sore. Aku masih terus mencintaimu bahkan hingga hampir satu tahun setelah kepergianmu. Apakah benar-benar ada mitos kelahiran kembali? Karena aku sangat menginginkanmu kembali padaku.
Aku membencinya, pemuda yang menyetir mobil saat mabuk dan menabrakmu itu. aku bahkan tak sanggup untuk datang ke pengadilan dan melihatnya. Setiap air mata yang jatuh di pipiku adalah ribuan penyesalan karena aku yang memintamu datang kerumahku sore itu. aku juga salah satu penuyebab terbunuhnya dirimu. Aku juga seharusnya di hukum, akan lebih baik jika orang tuamu dan seluruh keluargamu membenciku. Tapi mereka sama sekali tidak membenciku dan justru menghiburku.
Aku bersalah padamu
Hujan turun perlahan mengguyur tanah pekuburan. Aku kini beranjak pergi dari kuburanmu. Setiap hari setelah mengunjungi makammu aku akan datang ke halte itu dan berdiri disana dalam diam. Masih kuingat saat kecelakaan baru aku melihat mobilmu ringsek karena menabrak tiang listrik di depan sebuah halte bis untuk menghindari mobil pemuda mabuk itu. Aku berharap dapat melihatmu meskipun berwujud hantu. Mungkinkah arwahmu dapat merasakannya bahwa aku menunggumu.
“Mbak, selamat siang. Anda kesini lagi hari ini?” seorang laki-laki menyapaku.
Ia adalah laki-laki yang sama yang beberapa bulan ini selalu menemuiku di sini. Ia terus menggangguku dengan terus mengajakku mengobrol ini dan itu. dan aku sama sekali tidak mengubrisnya. Dia berkali-kali memayungiku saat hujan turun. Bahkan saat ada preman-preman yang iseng untuk menggangguku ia selalu melindungiku. Sebenarnya aku sangat terbantu lebih dari apapun padanya. Tapi aku lebih berharap dia membiarkanku saja. aku tidak butuh bantuan siapa-siapa. Biarkan hujan datang membasahiku, biarkan preman datang membunuhku. Dan jika ku mati nanti... aku ingin terlahir kembali bersamamu Mas Bima.
“Kak berhenti seperti ini! apa kakak tidak capek?” tanya adikku Sinta.
Setiap pulang kerumah setelah lama berdiri di halte Sinta akan mulai marah-marah padaku. “Kakak seperti orang gila!” ia pernah membentakku seperti itu sambil menangis. Tapi kemudian ia segera meminta maaf dan berkata bahwa ia memarahiku karena sayang padaku.
Ya, Sinta kakak paham rasa sayangmu pada kakak. Tapi kakak memang sudah gila semenjak kehilangan Mas Bima. Entah kenapa ketika malam datang dan aku tertidur ada sesuatu yang berbeda. Aku bermimpi Mas Bima datang kepadaku, ia seperti akan mengucapkan sesuatu. Tapi sayangnya aku terlanjur bangun tanpa tau apa yang ingin ia ucapkan. Begitu melihat kalender aku baru ingat bahwa hari ini adalah tepat satu tahun kepergianmu. Tanggal 1 September.
Tidak seperti biasa aku bersiap lebih awal ke makammu. Ibu tidak mencegahku seperti dulu saat awal-awal aku masih pertama kali melakukan kebiasaan ini. ibu dulu akan menangis dan berputus asa karena melihatk aku yang seperti orang gila. “Biar ibu antar ya nak, ibu juga ingin mengunjungi makam Bima” kata ibu.
Kami pergi bersama menuju makammu dan membeli bunga. Sampai di sana aku melihat ada kedua orang tuamu dan kakak perempuanmu. Mereka menyambut kami dan bahkan ibumu memelukku. Kami berdoa dan membacakan Yasin berharap semoga engkau dilapangkan di alam kubur.
“Apakah Ratih masih tidak mau bicara?” Ayahmu bertanya seperti itu pada ibuku. Itu pasti karena ia khawatir.
Ibu menggeleng perlahan. Ada air mata yang tertahan di matanya. Kak Farida bahkan berkali-kali mengusap punggung ibuku. Ketika keluargamu akan pergi, aku hanya memangdang mereka tanpa ekspresi. Aku rasa aku telah lupa bagaimana vcaranya berekspresi tanpa mu. Tadi aku masih bisa mendengar kak Farida dan ibuku bercerita tentang bagaimana ceria dan semangatnya diriku dulu. Sekarang aku bahkan bagaikan mayat hidup.
“Nak sudah sore, ayo kita pulang” bukuk ibu.
Aku masih ingin di sini bu. Menghabiskan waktu lebih banyak denganmu. Sampai sepuluh menit ibu masih berusaha membujukku. Tapi aku tetap diam dan terus duduk. Akhirnya ibu menyerah juga dan pergi meninggalkanku. Aku kini sendirian disini. Aku masih memikirkan mimpi malam tadi. Aku rasa kau ingin mengajakku pergi bersamamu. Iya kan? Apakah kau kesepian di alam sana? tanpa terasa lagi-lagi aku naik angkutan umu dan sampai di halte bis itu.
Langit sore ini tampak mendung. Entah aku berhalusinasi atau tidak, tapi aku merasa melihatmu di seberang jalan. Aku masih tersiam memandang bayanganmu yang melambaikan tangan padaku. Sepertinya kau ingin melarangku melakukan sesuatu. Tapi terlambat aku sudah memutuskan untu menyusulmu hari ini, kau harus menjemputku. Seiring dengan keputusanku, kau memalingkan wajahmu dariku dan pergi dengan marah. Kenapa?! Aku harus mengejarmu dan bertanya mengapa kau marah padaku.
Aku tidak tahu bagaimana, tapi ternyata aku sudah berdiri di tengah jalan raya. Orang mulai ribut karenaku. Dan detik berikutnya yang ku ingat adalah suara klakson mobil dan seorang laki-laki yang menerjangku. Kemudian semua kosong. Salam kekosongan yang gelap itu aku berdiri sendirian dan hanya ada satu cahaya yang datangdari tubuhmu. Setiap kali ku coba untuk mendekat kau akan semakin menjauh meninggalkanku dalam kegelapan. Dan akhirnya kau pun bersuara.
“Orang yang bunuh diri dan berputus asa hanya akan di benci oleh tuhan, hiduplah dengan baik dan melangkahlah keluar dari kegelapan ini”
Entah ini nyata atau tidak. Tapi aku sangat paham apa yang ingin kau katakan. Kau ingin aku melangkah keluar dari keterpurukanku karena kehilanganmukan? Aku tidak bisa! “AKU TIDAK BISA!”. Meski rasanya aku telah berteriak sekuat tenaga kau tetap mengacuhkanku.
Detik berikutnya aku bisa mendengar suara ibu dan Sinta yang memanggil-manggilku. Begitu ku buka mata, aku bisa melihat mereka berdua di sisi tempat tidurku. Mata mereka sembab karena ku. Menit berikutnya ayah masuk dengan membawa seorang dokter dan memeriksaku. Semua terjadi begitu cepat dan setelah dokter pergi suasana kamar kembali hening.
“Kakak sadar dengan apa yang kakak lakukan?!” Sinta memecah keheningan dengan membentakku. “Apa kakak hanya menyayangi Mas Bima seorang dan sama sekali tidak memperdulikan kami? Kakak tidak sayang kami?”
Aku hanya terdiam mendengarnya.
“Kakak benci pada kami hingga kakak ingin sekali meninggalkan kami hah?!” dia mulai menangis dan semakin marah.
“Sinta hentikan! Kakakmu baru sadar!” ibu juga ikut menangis dan mencoba menenangkan Sinta.
“Tidak bu, kakak harus dimarahi sekarang! Kalau tidak dia tidak akan pernah sadar!”
“Sinta!” kali ini ayah yang membentak Sinta.
Sinta terdiam memandang ayah dan ibu dan kemudian memandangku lagi, “Kakak hanya memperdulikan mas Bima. Memangnya kakak pernah perduli bagaimana sedihnya ibu di rumah saat kakak seperti ini. bagaimana ayah berkali-kali diam-diam menangis karena khawatir pada kondisi kakak. Bagaimana aku berkali-kali berusaha menyembukan kakak. Mungkin nanti kalau aku yang mati kakak tidak akan sadar sama sekali karena hanya perduli pada Mas Bima!”
Ya, sepertinya aku memang sudah lupa bagaimanan tawa ibu padaku. Bagaimanan lelucon ayah yang membuat suasana hangat dan bagaimanan Sinta bermanja-manja padaku. Aku telah lupa bahwa aku masih memiliki orang-orang yang sangat menyayangiku disini.
“memang kakak tidak pernah berfikir bagaimana kalau nanti kakak mati. Apakah ibu akan kuat? Apakah aku bisa bertahan? Apa kakak fikir dunia ini hanya miliki kakak dan Mas Bima saja?” ia melanjutkan ceramahnya. Perlahan air mataku turun. Ini adalah ekspresi prtamaku sejak kematian Mas Bima. Aku telah melupakan keberadaan orang-orang di sekelilingku.
“Sekarang bahkan kakak telah ikut melukai orang yang tidak bersalah. Kakak tidak ada bedanya dengan laki-laki mabuk yang menabrak mas bima. Kakak juga mencelakakan orang lain!”
“Sinta!” Plak ayah yang hilang kesabaran karena kata-kata Sinta marah dan menamparnya.
Lama mereka saling berpandangan. Ayah menunjukan sorot mata penyesalan karena ketidak sengajaannya sedankan Sinta menunjukan kemarahannya. Ia berteriak ke arah Ayah dan berkata bahwa ia tidak salah dan pergi dari kamarku. Ibu segera menyusulku keluar. Sedangkan ayah hanya terdiam dan duduk di sofa dalam kamar.
Aku memang bersalah seperti kata-kata Sinta. Laki-laki yang menolongku itu adalah laki-laki yang sama yang selalu menemaniku di halte. Aku sempat mengingat wajahnya. Dia menolongku tapi aku yang buta dan tidak bisa melihat ketulusannya. Apakah ia akan memaafkanku? Seharusnya ia marah. Dan pasti akan sangat membenciku.
“laki-laki itu...” aju bersuara lirih sambil melihat ke arah langit-langit kamar.
Ayah terkejut dan segera menghampiriku. “Ada apa sayang? Apa yang kamu rasakan?”
“Laki-laki itu... apa... lukanya, parah?” tanya ku.
Ayah terdiam. Sepertinya ayah tidak ingin menjawabku. “Tolong jawab... ayah” pintaku.
“Ibu!” Ayah tidak menjawabku dan justru memanggil ibu masuk kedalam.
Begitu ibu datang, ibu langsung memelukku dengan gembira. “akhirnya kamu bicara nak! Ibu sangat senang. Apa yang kami inginkan? Kamu lapar? Ada yang sakit?”
“Aku bertanya bu... apa laki-laki itu... terluka parah? Bawa aku padanya.. sekarang juga bu!”
Akhirnya setelah memaksa, ayah dan ibu membawaku menemui laki-laki itu. aku melihatnya berbaring di ranjang. Baru kali ini aku memperhatikan dirinya secara benar-benar. Dan aku sangat menyesali kelumpuhannya. Aku mengucapkan kata maaf dan penyesalanku tapi laki-laki itu justru menghiburku di dalam keputus asaannya sendiri. Ia bilang “Hiduplah baik-baik dan hargai hidup kedua anda!”. Aku seperti menemukan diriku sendiri yang hilang saat mendengar kalimatnya. Apakah kau percaya bahwa kelahirannya kembali itu ada? Nyatanya sekarang kau telah lahur kembali setelah sekian lama aku mengalami mati suri. Aku menemukan cahaya hidupku kembali. Dan aku menemukan semangatku kembali.
~~~###~~~
Luka fisikku telah sembuh sepenuhnya dalam tiga bulan setelah kecelakaan. Tapi aku masih sering bolak-balik ke rumah sakit. Aku mengantar Rama untuk merehab kakinya. Sudah ada kemajuan sedikit dari kedua kakinya karena ia sudah bisa berdiri selama beberapa menit. Biaya rumah sakit Rama 50 persennya memakai uang tabungan gabunganku dengan Mas Bima. Tabungan yang tadinya kan ku gunakan untuk biaya pernikahanku. Aku yakin Mas Bima tidak akan marah jika aku menggunakannya. Ayah dan ibu Mas Bima pun mengizinkannya.
“Jangan pernah datang ke makam Bima lagi, Ratih. Kamu janji ya sama ibu.” Kata ibu mas Bima.
Aku sempat berfikir ibumu marah padaku. Ternyata bukan, ia berkata seperti itu untuk kebaikanku. Agar aku tidak kembali mengingat-ingat kamu dan tidak depresi lagi seperti dulu. Dan aku menyanggupinya Mas Bima. Aku akan mencoba move on dari semua kegelapan ini.
Banyak hal yang aku syukuri dalam hidupku setelah kecelakaan itu. aku jadi bisa melihat dunia dengan mata yang terbuka lebar. aku kembali mencari pekerjaan dan aku kembali berekspresi. Suatu sore sepulang dari terapi, Rama mengajakku ke sebuah Cafe kesukaannya. Dan kami mengobrol banyak di sana tentang hal-hal umum. Ku akui aku telah semakin dekat dengannya.
Kemudian ia merubah topik pembicaraan, “Kamu sadarkan selama ini aku menyukaimu” katanya secara langsung. “Aku tahu, kamu masih menyimpan perasaanmu untuk Bima. Dan aku juga bukan laki-laki sempurna seperti dulu. Tapi aku akan menunggumu untuk menerimaku”
Ia kemudian memutar kursi rodanya dan mengajakku pergi, “Haahh sudah hampir malam Ratih, kita pulang yuk”
Aku bahkan belum sempat menjawabnya saat ia mulai meniggalkanku. Bahkan di mobil ia tidak berkata apa-apa sampai kami tiba di rumahnya. Aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa... aku tidak tahu. Di sisi lain aku butuh waktu untuk menyembuhkan perasaanku. Dan disisi lain aku memang membutuhkan orang lain di hatiku. Tapi tidak untuk sekarang....
~~~Tamat~~~