Minggu, 16 Desember 2012

Hidup Yang Baru


HIDUP YANG BARU

Dia selalu mengenakan pakaian yang sama setiap hari, blouse bunga-bunga dan tas hitam di padu sepatu teplek merah yang senada dengan warna bunganya. Meskipun begitu mataku tidak bisa lepas darinya. Ia adalah wanita misterius yang selalu berdiri di halte Bis depan kantorku. Sudah selama sebulan ini aku mencoba mendekatinya. Meskipun setiap ku ajak mengobrol ia tidak merespon sama sekali. Tapi, semua kemisteriusan wanita yang di anggap orang – orang gila ini menggugahku. Bagiku wanita ini sama sekali tidak gila. Ia hanya terlihat sedih, depresi dan terluka. Pasti ada alasannya kenapa ia setiap hari berdiri di sini dengan tatapan kosong.
Sore hari itu ada yang berbeda, selain karena langit yang sangat mendung wanita yang biasa berdiri di halte itu terlihat agak gelisah. Biasanya ia akan berdiri dalam diam. Tapi kali ini ia terus-terusan melihat jam dengan ekspresi kesal. Apa yang membuat hari ini berbeda dari biasanya? Hujan mulai turun perlahan dan ia sama sekali tidak berteduh ke bagian dalam halte. Ia terus berdiri rintik hujan yang mulai menderas.
Tergugah rasa simpati, aku berlari keluar dari kantor menuju halte membawa payung. Aku hampir sampai ke tempatnya dalam beberapa langkah lagi, sampai tiba-tiba ia berlari. Bukan ke arahku. Tapi ke arah jalan raya yang sedang padat-padatnya. Ia berhenti di tengah-tengah dan menantang kendaraan-kendaraan yang lewat untuk menabraknya. Ia ingin BUNUH DIRI.
“Hey, Mbak kembali!” aku bertriak panik.
“MINGGIR!” teriakan-teriakan panik lain juga muncul.
Jalanan semakin kacau dan bahkan beberapa mobil mengerem mendadak. Hingga muncul sebuah bis besar yang tidak bisa mengendalikan kecepatannya. Suara klakson bis itu sangat memekakan telinga “TEEEEEEET”.Tanpa pikir panjang aku berlari menuju wanita itu dan menariknya ke trotoar. Jantungku berdetak keras, sangat keras dan kesadaranku hilang ketika kepalaku membentur aspal.
Aku tidak sadarkan diri untuk beberapa lama, karena ketika akhirnya mataku terbuka hari sudah gelap dan aku tengah berbaring di rumah sakit. Di kamar ku sudah ada ayah dan adik perempuanku yang masih SMA. Adikku langsung menghapiriku dari sofa ketika aku sadar. “Mas, baik-baik saja? ada yang sakit? Mas haus? Mas mau apa?” pertanyaannya memberondongku yang baru saja sadar.
Aku hanya menggeleng dua kali untuk menjawap pertanyaanya. Tubuhku serasa remuk redam dan bahkan kepalaku pening sekali. Ayah segera memanggilkan dokter untuk memeriksa keadaanku. “Alhamdulillah, sepertinya kondisi Mas Rama sudah lewat dari masa kritis.” Kata Dokter Ari. “Sebaiknya Mas Rama kembali beristirahat dulu ya.” Lanjutnya setelah saling pandang dengan ayahku dengan cara yang mencurigakan.
Masa kritis? Apakah keadaanku begitu parah? Ketika Dokter Ari beranjak pergi, aku ingin menahannya. Tanganku terulur untuk menyentuh tubuh Dokter Aji tapi tidak sampai. Kemudian aku berniat bangkit dari tempat tidur “Dok, apakah kondi....” tapi aku tidak dapat bergerak, aku terkejut dan tidak meneruskan kalimatku. Ayah dan dokter berhenti di depan pintu kamar dan tidak jadi keluar.
Aku tersadar, ada yang salah dengan diriku. Tubuhku begitu lemah tak berdaya dan aku tidak bisa bergerak. Dari mataku dapat kulihat kilatan petir yang menyambar kesadaranku. Rentetan kecelakaan itu kembali berputar di kepalaku. Meski aku berhasil melemparkan diri ke sisi trotoar tapi kakiku sempat tertabrak bemper bis besar itu. mungkinkah...... aku lumpuh.
Kusibakkan selimut yang menutupi kakiku.... mataku terbelalak, kepalaku semakin pening dan kosong. Kedua kakiku masih ada, tapi sama sekali tidak bisa bergerak. “Dokter, apa saya lumpuh?” tanyaku langsung padanya. Dia tidak menjawab tapi mendatiku perlahan.
“Saya akan menjelaskan semuanya, anda harus tenang dulu.”
“Jawab saya!” bentakku. “Saya akan lumpuh selamanya?!”
“Mas Rama, tenang dulu Mas.” Vera adikku mengelus punggungku berkali-kalli untuk menenangkan ku.
“JAWAB!” teriakanku mengagetkan semua orang.
Malam itu berakhir sungguh menyakitkan. Kehidupanku akan berakhir di sini, karirku, cita-citaku, segalanya. Mereka bilang aku masih bisa berjalan. Masih ada kemungkinan bahwa aku akan dapat berjalan, asalkan aku sering datang ke rumah sakit untuk latihan. Tapi itu hanya harapan kosong yang disampaikan semua orang agar aku tidak patah semangat. Semuanya hanya kasihan padaku.
Malam itu kusuruh Ayah dan Vera pulang agar aku bisa menenangkan diriku sendiri. Apakah aku menyesal menolong wanita itu? dimana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja? kenapa justru aku mengkhawatirkannya? Seharusnya aku marah, marah padanya? Tidak, aku tidak mungkin marah padanya.... aku yang melibatkan diriku untuk menolongnya. Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan saat ini. di satu sisi aku ingin marah pada kebodohanku sendiri karena menolong wanita itu hingga menyebabkan kelumpuhannku. Tapi di sisi lain aku merasa tidak bisa menyalahkan diriku sendiri ataupun wanita itu karena aku memang wajib untuk menolong nyawa manusia.
Air mataku turun perlahan, aku laki-laki. Tapi aku sangat rapuh. Saat ini aku layaknya ranting yang rapuh. Sekali injak maka seluruh tubuh dan jiwaku akan hancur. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa, diriku, wanita itu atau keaadaan? Tuhan, apa rencanamu sebenarnya?
Malam berlalu dengan cepat hingga matahari pagi telah kembali bersinar menyambut hari yang baru. Ibu kali ini sudah datang dari pagi untuk menemaniku. Berkali-kali ia menyebutkan tentang rehabilitasi kakiku. Ia bilang aku akan sembuh dan dapat berjalan kembali. Tapi, entah kenapa pikiranku terasa kosong sekali, berkali-kali aku menjawab ibu dalam hatiku bahwa semua itu tak kan pernah terjadi. Tak akan.
“Tok tok tok” seseorang mengetuk pintu sambil membukanya.
Aku melihat seorang wanita paruh baya seperti ibuku masuk ke dalam. Ia menyalami ibuku dan mengajak ibuku untuk berbicara di luar kamar. Akhirnya aku sendirian di kamar ini. mataku tak berhenti memandang ke arah jendela dengan gordennya yang putih dan berkibar-kibar karena angin. Ketika pintu di buka kembali ku kira ibuku akan masuk. Ternyata yang masuk ke kamarku adalah orang lain. Wanita itu.
Tubuhku semakin membeku. Mataku terpaku padanya. Dia berbeda dari sebelumnya. Wajahnya lebih berekspresi, meski kepalanya di perban dan tangannya kirinya di gips tapi aura kecantikannya tak sirna. Dia memandang ke arahku takut-takut dan berjalan perlahan. Dari matanya dapat kulihat air mata yang ia coba tahan di pelupuk matanya.
Aku masih tidak tahu harus berbuat apa, dan harus bagaimana. Tapi kemudian suaraku keluar “Kemarilah, kita belum berkenalan sama sekali”. Ia semakin mendekat dan berhenti tepat di sisi ranjangku. “Namaku Rama, aku bekerja di kantor yang berada di depan halte tempat biasa anda berdiri”
“Maaf....”suara wanita itu bergetar karena takut, air matanya perlahan menetes. “Maafkan saya... gara-gara saya anda jadi seperti ini. seharusnya saya lah yang mati.” katanya sambil berurai air mata.
“Jangan katakan anda ingin mati jika anda benar-benar menyesal.” Suara ketusku keluar ketika mendengar kalimat “mati”. “Hiduplah baik-baik dan hargai kehidupan kedua anda.” Seperti bukan diriku saja ketika aku mengeluarkan kalimat ini di sela-sela keputus asaanku.
Ia semakin keras menangis setelah mendengar kalimatku. Aku tidak tahu apa masalahnya, apa kesulitannya. Tapi yang pasti ia juga mengalami masa-masa sulit yang membuatnya sangat putus asa. Dia hampir membunuh dirinya sendiri di tengah-tengah keputus asaannya. Apakah aku hanya akan berakhir seperti dirinya? Apakah aku akan menyerah dengan keadaanku yang seperti ini?
“Orang bilang kadang keajaiban itu bisa terjadi” kalimat Ibu tadi pagi saat menceramahiku. Munkinkah? Aku tertohok dengan kalimat ku sendiri “Hiduplah baik-baik dan hargai kehidupan kedua anda”. Bukankah aku sendiri juga baru saja mendapat kesempatan hidup kedua. Hidup setelah lolos dari maut.
Hellen Keller yang dari lahir telah cacat saja bisa menjadi orang terkenal yang menginspirasi semua orang. Kenapa aku tidak, apa lagi aku masih memiliki kesempatan untuk bisa berjalan. Bukankah setiap detik waktu sangat berharga hingga sayang sekali untuk disia-siakan dengan berputus asa. Aku tidak hanya menasihati wanita ini, tapi juga menasihati diriku sendiri untuk bangkit dan menyongsong hidup yang baru.