Ctak
ctak ctak!
Keypad
Blackberry tersayangku akhirnya harus menanggung kekesalan dan kemarahanku.
Jempolku menekan tombol-tombolnya dengan kasar dan tidak hati-hati. Padahal
bagian tombol huruf A sebenarnya sudah lepas. Maklum saja blackberry uzur ini sudah
kupakai sejak 3 tahun lalu saat Radit harus pergi kuliah ke Jogja.
Kami
menjalani pacaran jarak jauh atau bahasa betawinya itu LDR, Long Distance Relationship. Wajar saja
kalau BB menjadi alat komunikasi kami berdua yang sangat penting. Terutama
dengan adanya aplikasi BBM itu. Mulai dari berantem dan sayang-sayangan ada di
history chat bbmku dan dia. Umur pacaranku juga terbilang lama berkat bbm yang
selalu setia menjembatani komunikasi kami.
“Itu hanya masalah sepele, Dit” -R
Tia 3.12 pm
“Kamu jalan sama Jonathan dan kamu bohong ke aku?” -R
Radit 3.12 pm
“Habis kamu suka over protective dan khawatir berlebihan!”
–R
Tia 3.13 pm
“Wajar dong, aku kan pacar kamu! Aku bisa khawatir karena
hal-hal kecil apa lagi mendengar pacarku jalan dengan cowok yang naksir dia
tanpa bilang-bilang” -R
Radit 3.13 pm
“Ya udah sih Dit, ini sepele” -R
Tia 3.14 pm
Kubalas
BBM dari Radit dengan singkat karena kekesalanku padanya. Detik berikutnya
tanda D (Delivered) langsung berubah jadi R (Read).
“Harusnya
kamu bilang ke aku, supaya aku ngak cemas. Apa susahnya sih pinjem handphone Rita?!
Dan bilang sejujurnya” -D
Balasan
darinya langsung datang tanpa kutunggu. Tapi aku membiarkannya tanpa membuka
bbm itu sama sekali.
Kletak!
Sialnya,
tombol huruf A milikku kembali lepas.
“Ughh!!!”
ku genggam erat-erat Blackberry butut milikku dengan kesal dan berencana ingin
membantingnya. Alih-alih membantingnya ke lantai aku membantingnya ke kasur.
“Ping!”
“Ping”
“Ping”
Lagi,
Blackberryku berkicau karena bbm Radit yang kuacuhkan. Mataku melirik kesal ke
arah handphone di atas bantal. Pertengkaran seperti ini tidak akan terjadi jika
saja dia tidak mengungkit-ungkit masalah kemarin. Mungkin sebagian dari masalah
ini memang salahku. Tapi.... tidak! Tidak ini bukan salahku! Dia yang membuat
kesal dan terlalu over protective! Yah, entah siapa yang salah tapi kalau di
ingat-ingat dari awal mungkin ini memang salahku
Akhirnya
dengan enggan kuambil Blackberry butut plus uzurku. Dan pelan-pelan kupasang
lagi tombol huruf A nya. Perasaan miris pada handphone ku membuatku mengingat
akar permasalahan dari “perang”ku kali ini. Permasalahan itu dimulai ketika di
pagi hari saat ingin berangkat kuliah aku
lupa membawa power bank ku.
“Great!!
BB ku sekarat!” aku mengeluh pada Rita saat pulang kuliah sore harinya. Segera
ku aduk-aduk isi tasku untuk mencari power bankku. “Hahhhh,, ketinggalannn!!”
“Dit,
handphone ku sebentar lagi mati. Mungkin sampai jam sepuluh malam nanti aku
baru pulang soalnya aku ingin pergi ke Sevel bersama Rita untuk mengerjakan
tugas.”
Seketika
itu juga usai mengirim bbm itu, handphoneku mati. Well, yang penting aku sudah
kirim pesan padanya. Meski sebenarnya
pesan itu bohong sihh.. saat ini aku bukan dalam perjalanan menuju Sevel untuk
mengerjakan tugas tapi, menuju Mall di kawasan Pondok Indah untuk nonton
filmnya Christ Hemsworth yang ganteng itu. Dan lebih parahnya lagi aku nonton
bareng dengan Jonathan. Kenapa Jonatahan masuk dalam kategori parah? Karena ia
naksir aku dan masih berusaha mendekatiku sampai sekarang.
“Aku
aja yang bayar” Jonathan menolak uang tiket bioskop yang aku dan Rita sodorkan.
“Sekali-kali aku traktir.” Tambahnya.
Aku
memandangnya kikuk, dia jelas-jelas tersenyum kearahku, “Eeerrrrr,, “ bingung
apa yang harus kuucapkan akhirnya aku hanya
bisa mengucapkan terima kasih. “Makasi.”
Dan
selanjutnya yang paling parah adalah, aku lupa memberitahu Rita untuk berbohong
pada Radit. Sudah pasti Radit akan segera mengecek keberadaanku dimana, sedang apa dan bersama
siapa pada Rita. Dan sialnya, Rita memberi tahuku bahwa Radit mengiriminya
pesan saat di bagian tengah-tengah film yang sedang seru-serunya.
“Pasti
sebenarnya adiknya belum mati. Tidak
mungkin adiknya mati begitu saja di tangan alien tidak jelas!” komentarku pada
Rita.
Rita
yang ku ajak bicara tidak menjawabku dan justru sibuk mengirimi pesan dari Handphonenya.
“Hemm, kamu ngomong apa tadi?” tanyanya
“’Gak
ada siaran ulang!” ujarku kesal dan setengah bercanda.
“Sorry,
sorry.. ini pacarmu tuh si Radit dari tadi ngirm sms ke aku terus!”
Deg-
Jantungku
hampir copot mendengar namanya.
EH! MAMPUS!
Ujarku dalam hati, “Dia sms apa?”
Dengan
segera perhatianku teralihkan dari si seksi Christ Hemsworth menuju layar
handphone Rita.
Rita, sedang bersama Tia ga?
Send: Radit 08.09 pm
Iya Dit, kenapa?”
Send: Rita 08.10 pm
Sudah selesai belum mengejakan tugasnya? Kalian sudah
pulang?
Send: Radit 08.10pm
Loh? Kami sedang nonton kok bukan ngerjain tugas.
Send: Rita 08.11pm
Oh, sama siapa?”
Send: Radit 08.12pm
Bertiga sama Jonathan,
Send: Rita 08.12pm
Kalau sudah mau pulang kirimi aku pesan.
Send: Radit 09.14 pm
Itu
dia akar permasalahan seriusku kali ini. Hasilnya begitu blackberry uzurku
menyala di rumah ia langsung menelponku dan marah-marah. Karena kesal akhirnya
ku tutup saja sambungannya dan kami meneruskan pertengkaran kami lewat BBM.
Sampai jari-jari mau putus rasanya mengetik bbm untuk Radit sejak semalam.
Jakarta
dan Jogja, mungkin jarak yang terlalu jauh membuat kami saling terus mengecek
satu sama lain. Bayangkan, orang yang berpacaran satu kampus dan setiap hari
ketemu saja masih saling mengecek satu sama lain. Apalagi kami yang harus
terpisah jarak beratus-ratu kilo meter
yaitu sekitar 551km.
Pada
akhirnya aku sendiri yang mulai galau. Hatiku ketar-ketir dan tak karuan lagi.
Masalah kali ini akulah penyebabnya. Dan, aku semakin tidak tahan untuk segera
memperbaiki hubungan kami. Bertengkar adalah hal biasa bagi kami, dan secepat
itu pula kami berbaikan. Terutama karena Radit orang yang dewasa dan banyak
mengalah padaku. Mungkin kali ini memang aku yang berlebihan.
Setelah
lumayan lama memandangi layar handphone, aku memutuskan untuk menelpon Radit
terlebih dahulu.
Tuutt
Tuuuttt Tuuuttt “Halo” Suara Radit terdengar di seberang. Nada suaranya agak
sedikit kesal.
“Radit,
ak-“
PET!
Layar handphone mendadak gelap dan tak terdengar suara apa-apa lagi.
Aku
belum selesai bicara tiba-tiba blackberry uzurku mati. Dia nge-hang lagi. “What
the-“ aku marah-marah dan hampir memaki dalam bahasa inggris. Berkali-kali ku
coba untuk menyalakannya tapi BB uzur itu tidak mau menyala. Apa-apaan coba?!
Disaat genting seperti ini, dia sama sekali tidak bisa diajak kompromi dan
bekerjasama.
“Arggghhh!!”
aku berteriak frustasi.
Bagaimana
jika ia marah besar dan akhirnya memutuskanku? Apa yang harus ku lakukan? Aku
memeluk gulingku erat-erat dan mulai menangis.
Masih
ku ingat saat Radit menyatakan perasaannya padaku di hari kelulusan SMA. Seusai
kelulusan ia mengajakku ke ke Mall di kawasan Pondok Indah. Aku bisa mengingat
betapa nervousnya dia saat itu. Tangannya berkeringat dan ia banyak mengerutkan keningnya. Bahkan
suaranya terbata dan bergetar.
“Ti,
aku pikir aku menyukai kamu” katanya ragu-ragu
Jelas,
aku tertawa dalam hati mendengar ia bicara. “jadi kamu hanya berfikir bahwa
kamu menyukai aku, bukan menyukai ku benar-benar?” kataku menggodanya. Aku
sebenarnya paham betul bahwa ia benar-benar menyukaiku ia hanya kesulitan untuk
mencari kata-kata yang pas agar dapat mengungkapkannya padaku.
“Errrr”
ia terkejut, wajahnya panik “bukan itu maksudku. Aku benar-benar menyukai kamu.
Serius” ia menyemburkan kalimatnya dengan cepat dalam satu tarikan nafas.
Aku
tersenyum simpul dan sebenarnya agak malu, “Aku juga menyukai kamu Dit” jawabku
sambil menundukan kepala.
Ia
tersenyum sangat lebar dan hampir tertawa bahagia saat mendengar pengakuanku. Ia
pasti sangat senang dengan fakta bahwa kami telah resmi menjadi sepasang
kekasih. Tapi kemudian tiba-tiba wajahnya kembali berubah serius. “ Tapi, ada
satu hal penting yang ingin aku katakan”
“Apa?”
tanyaku.
Ia
ragu-ragu sejenak, tapi kemudian ia tetap berbicara “Kita, harus menjalani
hubungan kita dari jauh, LDR maksudku”
“Aku
tahu,” ia terlihat terkejut mendengar jawabanku, “Sony yang bilang ke aku bahwa
kamu diterima kuliah di UGM” dan aku hanya bisa tersenyum pahit.
Ia
terdiam cukup lama. “Kamu masih mau pacaran sama aku kan?” tanyanya.
Aku
tersenyum dan mengangguk, “Ayo kita coba,” ujarku. “Kita bisa saling memberi
kabar dengan cara saling telpon, sms atau bahkan lewat chatting internet.
Bahkan kita bisa video call lewat Skype. Banyak cara yang bisa kita lakukan.”
Ia
tersenyum lega, “Setuju”
“Kita
juga harus saling jujur dan mengatakan apapun perasaan kita. Tidak boleh
berselingkuh. tidak boleh berbohong atau apapun tindakan buruk yang akan
mengancam hubungan kita. Janji?” tanyaku sambil mengangkat jari kelingking ku.
Ia
mengangguk dan mengaitkan kelingkingnya
ke kelingkingku, “Pinky swear!” kataku.
Aku
tidak pernah menjalani hubungan normal karena kami hanya bisa bertemu beberapa
bulan sekali. Jakarta terasa hampa tanpa Radit, aku sadar itu. Apa lagi kalau
malam minggu datang. Di saat
teman-temanku pergi dengan pacar mereka aku harus mendekam di kamarku dan
pacaran lewat telpon. Lebih menggenaskan lagi ketika aku makan di Cafe atau
tempat nongkrong lain dan harus disuguhkan pasangan muda-mudi yang sedang asik
bercengkrama. Seketika itu juga rasa rinduku membuncah keluar dan membuatku
galau setengah mati. Tapi pasti Radit juga mengalami hal yang sama di sana. Ia
juga galau dan rindu padaku.
Setiap
malam ia sering bercerita tentang
Jogjakarta yang ramai akan wisatawa. Juga tentang tempat-tempat wisatanya.
Terutama sekali ia ingin mengajak aku jalan-jalan di jalan Malioboro yang
terkenal. Ketika malam tiba angkringan di sana sangat ramai. Tak jauh beda
dengan di Jakarta. Tentu saja disana juga ramai pasangan kasmaran yang
bermesraan. Teman-temannya bahkan sampai mengatai Radit Jomblo imitasi. Karena
ia terlihat jomblo tapi sebenarnya memiliki pacar.
Air
mataku semakin mengalir deras. Padahal aku yang mengusulkan janji itu waktu
itu. Tapi aku sendiri yang berbohong padanya karena keegoisanku yang ingin
nonton gratis dengan memanfaatkan Jonathan. Semua ini memang aku yang salah.
Padahal selama ini, ia telah mengusahakan yang terbaik bagiku. Menelponku
setiap malam, kadang ia menemaniku membuat tugas lewat Skype. Bahkan ia yang
selalu meminta maaf duluan dalam setia pertengkaran kami meskipun aku yang
salah. Wajar saja jika saat ini ia sangat marah.
Aku
tidak boleh menyerah begitu saja untuk bicara padanya. Dengan tekad bulat aku
pergi ke dapur menemui ibuku yang sedang memasak. “Bu, aku pinjam handphone
dong, mau telpon Radit. Handphoneku mati” kataku.
“Kartu
milik ibukan lain operator,” suara ibu terdengar khawatir.
“Nanti
aku ganti deh pulsanya, ya, ya ya” aku merajuk.
Akhirnya
ibu mengangguk. Aku tersenyum dan segera berlari kembali ke kamar sambil
membawa hanphone ibu. Dengan nervous aku duduk di atas kasur dan menekan nomor
Radit yang sudah ku hapal di luar kepala, yang
bahkan nomor ibu, ayah dan kakakku saja aku tidak hafal hahaha, kataku
dalam hati.
Lama
aku menunggu dan Radit tidak mengangkatnya sama sekali. Air mataku kembali
menggenang dan hatiku semakin kalut. Kali ini aku yakin betul bahwa
pertengkaran ini akan menjadi yang terakhir karena ia akan memutuskanku.
“Ummiii
Ummmiiii Ummiiii” handphone ibu bergetar di atas kasur dan suara ringtonenya
terdengar. Itu adalah lagu Ummi yang dinyanyikan Hadad Alwi dan Sulis dulu.
Kulihat layarnya dan ternyata itu Radit. Dengan segera ku angkat telponnya.
“Ha-Hallo”
suaraku bergetar.
Ia
belum menjawa hinga keadaan hening tanpa satu patah katapun terdengar darinya.
Akhirnya yang ada malah suara tangisku yang pecah. “Aku minta maaf,, hiks,
hiks, iya aku yang salah aku minta maaf” kataku sambil menangis.
“Jangan
ulangi lagi” akhirnya ia bersuara dengan lembut. “Jangan buat aku khawatir dan
cemburu lagi.” Tambahnya.
“Iya,
hiks hiks. Kamu masih marah?”
“Tidak,”
jawabnya, “Tadi saat sambungan kita terputus aku segera menelpon Rita. Dan Rita
menjelaskan segalanya tentang kemarin. Aku rasa aku yang terlalu takut dan
cemburu.”
Ia
berhenti bicara sejenak dan menarik nafas, “Ayo kita lupakan saja pertengkaran
kemarin kita sudah sama-sama dewasa dan mengerti bahwa itu hanya masalah
sepele. Dan tidak akan mengganggu hubungan kita sama sekali.” sambungnya.
“Iya,”
kataku singkat.
“Dan
jangan menelpon menggunakan nomor Ibu, pulsa Ibu bisa habis nanti.” Pesannya.
“Kamu!,
disaat seperti ini masih mengkhawatirkan pulsa Ibu.” Aku tertawa.
“Aku
rindu kamu.” Ia mengucapkannya dengan lembut yang membuat jantungku berdegup
lebih kecang.
Pada
akhirnya malam itu aku dan Radit dapat berbaikan lagi meski BB uzurku tidak
pernah bisa bangun lagi. Dan tentu saja aku dan Radit masih suka bertengkar
kadang-kadang bahkan karena masalah sepele seperti lama respon telpon, sms atau
bbm, padahalkan kerjaan kita ngak Cuma
pegang hp doang? Benarkan?. Bahkan sampai hal-hal serius tentang masa
depan, kuliah dan keluarga. Tapi, karena kami sama-sama sadar bahwa kami jauh,
jadi kalau marahan tidak akan bertahan lama. Paling lama satu jam stop
komunikasi dan setelah itu kembali seperti biasa.
“Haahhhh,
Aku KANGEN Radit!” teriakku frustasi dari kamar.
_______________________
Nb: Ucapan terimakasih buat Siti Maunah yang udah ngasih inspirasi