Kamis, 31 Januari 2013

Hidup Kedua


Hidup kedua
Jika dilahirkan kembali, apa yang kau inginkan? Ingin menjadi apa dirimu? Apakah tetap ingin kembali bersama ku? Pertanyaan itu berkali-kali ku ucapkan di depan makammu. Mas Bima, aku masih kesini setiap hari jam tiga sore. Aku masih terus mencintaimu bahkan hingga hampir satu tahun setelah kepergianmu. Apakah benar-benar ada mitos kelahiran kembali? Karena aku sangat menginginkanmu kembali padaku.
Aku membencinya, pemuda yang menyetir mobil saat mabuk dan menabrakmu itu. aku bahkan tak sanggup untuk datang ke pengadilan dan melihatnya. Setiap air mata yang jatuh di pipiku adalah ribuan penyesalan karena aku yang memintamu datang kerumahku sore itu. aku juga salah satu penuyebab terbunuhnya dirimu. Aku juga seharusnya di hukum, akan lebih baik jika orang tuamu dan seluruh keluargamu membenciku. Tapi mereka sama sekali tidak membenciku dan justru menghiburku.
Aku bersalah padamu
Hujan turun perlahan mengguyur tanah pekuburan. Aku kini beranjak pergi dari kuburanmu. Setiap hari setelah mengunjungi makammu aku akan datang ke halte itu dan berdiri disana dalam diam. Masih kuingat saat kecelakaan baru aku melihat mobilmu ringsek karena menabrak tiang listrik di depan sebuah halte bis untuk menghindari mobil pemuda mabuk itu. Aku berharap dapat melihatmu meskipun berwujud hantu. Mungkinkah arwahmu dapat merasakannya bahwa aku menunggumu.
“Mbak, selamat siang. Anda kesini lagi hari ini?” seorang laki-laki menyapaku.
Ia adalah laki-laki yang sama yang beberapa bulan ini selalu menemuiku di sini. Ia terus menggangguku dengan terus mengajakku mengobrol ini dan itu. dan aku sama sekali tidak mengubrisnya. Dia berkali-kali memayungiku saat hujan turun. Bahkan saat ada preman-preman yang iseng untuk menggangguku ia selalu melindungiku. Sebenarnya aku sangat terbantu lebih dari apapun padanya. Tapi aku lebih berharap dia membiarkanku saja. aku tidak butuh bantuan siapa-siapa. Biarkan hujan datang membasahiku, biarkan preman datang membunuhku. Dan jika ku mati nanti... aku ingin terlahir kembali bersamamu Mas Bima.
“Kak berhenti seperti ini! apa kakak tidak capek?” tanya adikku Sinta.
Setiap pulang kerumah setelah lama berdiri di halte Sinta akan mulai marah-marah padaku. “Kakak seperti orang gila!” ia pernah membentakku seperti itu sambil menangis. Tapi kemudian ia segera meminta maaf dan berkata bahwa ia memarahiku karena sayang padaku.
Ya, Sinta kakak paham rasa sayangmu pada kakak. Tapi kakak memang sudah gila semenjak kehilangan Mas Bima. Entah kenapa ketika malam datang dan aku tertidur ada sesuatu yang berbeda. Aku bermimpi Mas Bima datang kepadaku, ia seperti akan mengucapkan sesuatu. Tapi sayangnya aku terlanjur bangun tanpa tau apa yang ingin ia ucapkan. Begitu melihat kalender aku baru ingat bahwa hari ini adalah tepat satu tahun kepergianmu. Tanggal 1 September.
Tidak seperti biasa aku bersiap lebih awal ke makammu. Ibu tidak mencegahku seperti dulu saat awal-awal aku masih pertama kali melakukan kebiasaan ini. ibu dulu akan menangis dan berputus asa karena melihatk aku yang seperti orang gila. “Biar ibu antar ya nak, ibu juga ingin mengunjungi makam Bima” kata ibu.
Kami pergi bersama menuju makammu dan membeli bunga. Sampai di sana aku melihat ada kedua orang tuamu dan kakak perempuanmu. Mereka menyambut kami dan bahkan ibumu memelukku. Kami berdoa dan membacakan Yasin berharap semoga engkau dilapangkan di alam kubur.
“Apakah Ratih masih tidak mau bicara?” Ayahmu bertanya seperti itu pada ibuku. Itu pasti karena ia khawatir.
Ibu menggeleng perlahan. Ada air mata yang tertahan di matanya. Kak Farida bahkan berkali-kali mengusap punggung ibuku. Ketika keluargamu akan pergi, aku hanya memangdang mereka tanpa ekspresi. Aku rasa aku telah lupa bagaimana vcaranya berekspresi tanpa mu. Tadi aku masih bisa mendengar kak Farida dan ibuku bercerita tentang bagaimana ceria dan semangatnya diriku dulu. Sekarang aku bahkan bagaikan mayat hidup.
“Nak sudah sore, ayo kita pulang” bukuk ibu.
Aku masih ingin di sini bu. Menghabiskan waktu lebih banyak denganmu. Sampai sepuluh menit ibu masih berusaha membujukku. Tapi aku tetap diam dan terus duduk. Akhirnya ibu menyerah juga dan pergi meninggalkanku. Aku kini sendirian disini. Aku masih memikirkan mimpi malam tadi. Aku rasa kau ingin mengajakku pergi bersamamu. Iya kan? Apakah kau kesepian di alam sana? tanpa terasa lagi-lagi aku naik angkutan umu dan sampai di halte bis itu.
Langit sore ini tampak mendung. Entah aku berhalusinasi atau tidak, tapi aku merasa melihatmu di seberang jalan. Aku masih tersiam memandang bayanganmu yang melambaikan tangan padaku. Sepertinya kau ingin melarangku melakukan sesuatu. Tapi terlambat aku sudah memutuskan untu menyusulmu hari ini, kau harus menjemputku. Seiring dengan keputusanku, kau memalingkan wajahmu dariku dan pergi dengan marah. Kenapa?! Aku harus mengejarmu dan bertanya mengapa kau marah padaku.
Aku tidak tahu bagaimana, tapi ternyata aku sudah berdiri di tengah jalan raya. Orang mulai ribut karenaku. Dan detik berikutnya yang ku ingat adalah suara klakson mobil dan seorang laki-laki yang menerjangku. Kemudian semua kosong. Salam kekosongan yang gelap itu aku berdiri sendirian dan hanya ada satu cahaya yang datangdari tubuhmu. Setiap kali ku coba untuk mendekat kau akan semakin menjauh meninggalkanku dalam kegelapan. Dan akhirnya kau pun bersuara.
“Orang yang bunuh diri dan berputus asa hanya akan di benci oleh tuhan, hiduplah dengan baik dan melangkahlah keluar dari kegelapan ini”
Entah ini nyata atau tidak. Tapi aku sangat paham apa yang ingin kau katakan. Kau ingin aku melangkah keluar dari keterpurukanku karena kehilanganmukan? Aku tidak bisa! “AKU TIDAK BISA!”. Meski rasanya aku telah berteriak sekuat tenaga kau tetap mengacuhkanku.
Detik berikutnya aku bisa mendengar suara ibu dan Sinta yang memanggil-manggilku. Begitu ku buka mata, aku bisa melihat mereka berdua di sisi tempat tidurku. Mata mereka sembab karena ku. Menit berikutnya ayah masuk dengan membawa seorang dokter dan memeriksaku. Semua terjadi begitu cepat dan setelah dokter pergi suasana kamar kembali hening.
“Kakak sadar dengan apa yang kakak lakukan?!” Sinta memecah keheningan dengan membentakku. “Apa kakak hanya menyayangi Mas Bima seorang dan sama sekali tidak memperdulikan kami? Kakak tidak sayang kami?”
Aku hanya terdiam mendengarnya.
“Kakak benci pada kami hingga kakak ingin sekali meninggalkan kami hah?!” dia mulai menangis dan semakin marah.
“Sinta hentikan! Kakakmu baru sadar!” ibu juga ikut menangis dan mencoba menenangkan Sinta.
“Tidak bu, kakak harus dimarahi sekarang! Kalau tidak dia tidak akan pernah sadar!”
“Sinta!” kali ini ayah yang membentak Sinta.
Sinta terdiam memandang ayah dan ibu dan kemudian memandangku lagi, “Kakak hanya memperdulikan mas Bima. Memangnya kakak pernah perduli bagaimana sedihnya ibu di rumah saat kakak seperti ini. bagaimana ayah berkali-kali diam-diam menangis karena khawatir pada kondisi kakak. Bagaimana aku berkali-kali berusaha menyembukan kakak. Mungkin nanti kalau aku yang mati kakak tidak akan sadar sama sekali karena hanya perduli pada Mas Bima!”
Ya, sepertinya aku memang sudah lupa bagaimanan tawa ibu padaku. Bagaimanan lelucon ayah yang membuat suasana hangat dan bagaimanan Sinta bermanja-manja padaku. Aku telah lupa bahwa aku masih memiliki orang-orang yang sangat menyayangiku disini.
“memang kakak tidak pernah berfikir bagaimana kalau nanti kakak mati. Apakah ibu akan kuat? Apakah aku bisa bertahan? Apa kakak fikir dunia ini hanya miliki kakak dan Mas Bima saja?” ia melanjutkan ceramahnya. Perlahan air mataku turun. Ini adalah ekspresi prtamaku sejak kematian Mas Bima. Aku telah melupakan keberadaan orang-orang di sekelilingku.
“Sekarang bahkan kakak telah ikut melukai orang yang tidak bersalah. Kakak tidak ada bedanya dengan laki-laki mabuk yang menabrak mas bima. Kakak juga mencelakakan orang lain!”
“Sinta!” Plak ayah yang hilang kesabaran karena kata-kata Sinta marah dan menamparnya.
Lama mereka saling berpandangan. Ayah menunjukan sorot mata penyesalan karena ketidak sengajaannya sedankan Sinta menunjukan kemarahannya. Ia berteriak ke arah Ayah dan berkata bahwa ia tidak salah dan pergi dari kamarku. Ibu segera menyusulku keluar. Sedangkan ayah hanya terdiam dan duduk di sofa dalam kamar.
Aku memang bersalah seperti kata-kata Sinta. Laki-laki yang menolongku itu adalah laki-laki yang sama yang selalu menemaniku di halte. Aku sempat mengingat wajahnya. Dia menolongku tapi aku yang buta dan tidak bisa melihat ketulusannya. Apakah ia akan memaafkanku? Seharusnya ia marah. Dan pasti akan sangat membenciku.
“laki-laki itu...” aju bersuara lirih sambil melihat ke arah langit-langit kamar.
Ayah terkejut dan segera menghampiriku. “Ada apa sayang? Apa yang kamu rasakan?”
“Laki-laki itu... apa... lukanya, parah?” tanya ku.
Ayah terdiam. Sepertinya ayah tidak ingin menjawabku. “Tolong jawab... ayah” pintaku.
“Ibu!” Ayah tidak menjawabku dan justru memanggil ibu masuk kedalam.
Begitu ibu datang, ibu langsung memelukku dengan gembira. “akhirnya kamu bicara nak! Ibu sangat senang. Apa yang kami inginkan? Kamu lapar? Ada yang sakit?”
“Aku bertanya bu... apa laki-laki itu... terluka parah? Bawa aku padanya.. sekarang juga bu!”
Akhirnya setelah memaksa, ayah dan ibu membawaku menemui laki-laki itu. aku melihatnya berbaring di ranjang. Baru kali ini aku memperhatikan dirinya secara benar-benar. Dan aku sangat menyesali kelumpuhannya. Aku mengucapkan kata maaf dan penyesalanku tapi laki-laki itu justru menghiburku di dalam keputus asaannya sendiri. Ia bilang “Hiduplah baik-baik dan hargai hidup kedua anda!”. Aku seperti menemukan diriku sendiri yang hilang saat mendengar kalimatnya. Apakah kau percaya bahwa kelahirannya kembali itu ada? Nyatanya sekarang kau telah lahur kembali setelah sekian lama aku mengalami mati suri. Aku menemukan cahaya hidupku kembali. Dan aku menemukan semangatku kembali.
~~~###~~~
Luka fisikku telah sembuh sepenuhnya dalam tiga bulan setelah kecelakaan. Tapi aku masih sering bolak-balik ke rumah sakit. Aku mengantar Rama untuk merehab kakinya. Sudah ada kemajuan sedikit dari kedua kakinya karena ia sudah bisa berdiri selama beberapa menit. Biaya rumah sakit Rama 50 persennya memakai uang tabungan gabunganku dengan Mas Bima. Tabungan yang tadinya kan ku gunakan untuk biaya pernikahanku. Aku yakin Mas Bima tidak akan marah jika aku menggunakannya. Ayah dan ibu Mas Bima pun mengizinkannya.
“Jangan pernah datang ke makam Bima lagi, Ratih. Kamu janji ya sama ibu.” Kata ibu mas Bima.
Aku sempat berfikir ibumu marah padaku. Ternyata bukan, ia berkata seperti itu untuk kebaikanku. Agar aku tidak kembali mengingat-ingat kamu dan tidak depresi lagi seperti dulu. Dan aku menyanggupinya Mas Bima. Aku akan mencoba move on dari semua kegelapan ini.
Banyak hal yang aku syukuri dalam hidupku setelah kecelakaan itu. aku jadi bisa melihat dunia dengan mata yang terbuka lebar. aku kembali mencari pekerjaan dan aku kembali berekspresi. Suatu sore sepulang dari terapi, Rama mengajakku ke sebuah Cafe kesukaannya. Dan kami mengobrol banyak di sana tentang hal-hal umum. Ku akui aku telah semakin dekat dengannya.
Kemudian ia merubah topik pembicaraan, “Kamu sadarkan selama ini aku menyukaimu” katanya secara langsung. “Aku tahu, kamu masih menyimpan perasaanmu untuk Bima. Dan aku juga bukan laki-laki sempurna seperti dulu. Tapi aku akan menunggumu untuk menerimaku”
Ia kemudian memutar kursi rodanya dan mengajakku pergi, “Haahh sudah hampir malam Ratih, kita pulang yuk”
Aku bahkan belum sempat menjawabnya saat ia mulai meniggalkanku. Bahkan di mobil ia tidak berkata apa-apa sampai kami tiba di rumahnya. Aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa... aku tidak tahu. Di sisi lain aku butuh waktu untuk menyembuhkan perasaanku. Dan disisi lain aku memang membutuhkan orang lain di hatiku. Tapi tidak untuk sekarang....
~~~Tamat~~~