Hidup kedua
Jika dilahirkan kembali, apa yang kau inginkan? Ingin menjadi apa
dirimu? Apakah tetap ingin kembali bersama ku? Pertanyaan itu berkali-kali ku
ucapkan di depan makammu. Mas Bima, aku masih kesini setiap hari jam tiga sore.
Aku masih terus mencintaimu bahkan hingga hampir satu tahun setelah
kepergianmu. Apakah benar-benar ada mitos kelahiran kembali? Karena aku sangat
menginginkanmu kembali padaku.
Aku membencinya, pemuda yang menyetir mobil saat mabuk dan
menabrakmu itu. aku bahkan tak sanggup untuk datang ke pengadilan dan
melihatnya. Setiap air mata yang jatuh di pipiku adalah ribuan penyesalan
karena aku yang memintamu datang kerumahku sore itu. aku juga salah satu
penuyebab terbunuhnya dirimu. Aku juga seharusnya di hukum, akan lebih baik
jika orang tuamu dan seluruh keluargamu membenciku. Tapi mereka sama sekali
tidak membenciku dan justru menghiburku.
Aku bersalah padamu
Hujan turun perlahan mengguyur tanah pekuburan. Aku kini beranjak
pergi dari kuburanmu. Setiap hari setelah mengunjungi makammu aku akan datang
ke halte itu dan berdiri disana dalam diam. Masih kuingat saat kecelakaan baru
aku melihat mobilmu ringsek karena menabrak tiang listrik di depan sebuah halte
bis untuk menghindari mobil pemuda mabuk itu. Aku berharap dapat melihatmu
meskipun berwujud hantu. Mungkinkah arwahmu dapat merasakannya bahwa aku
menunggumu.
“Mbak, selamat siang. Anda kesini lagi hari ini?” seorang laki-laki
menyapaku.
Ia adalah laki-laki yang sama yang beberapa bulan ini selalu
menemuiku di sini. Ia terus menggangguku dengan terus mengajakku mengobrol ini
dan itu. dan aku sama sekali tidak mengubrisnya. Dia berkali-kali memayungiku
saat hujan turun. Bahkan saat ada preman-preman yang iseng untuk menggangguku
ia selalu melindungiku. Sebenarnya aku sangat terbantu lebih dari apapun
padanya. Tapi aku lebih berharap dia membiarkanku saja. aku tidak butuh bantuan
siapa-siapa. Biarkan hujan datang membasahiku, biarkan preman datang
membunuhku. Dan jika ku mati nanti... aku ingin terlahir kembali bersamamu Mas Bima.
“Kak berhenti seperti ini! apa kakak tidak capek?” tanya adikku
Sinta.
Setiap pulang kerumah setelah lama berdiri di halte Sinta akan
mulai marah-marah padaku. “Kakak seperti orang gila!” ia pernah membentakku
seperti itu sambil menangis. Tapi kemudian ia segera meminta maaf dan berkata
bahwa ia memarahiku karena sayang padaku.
Ya, Sinta kakak paham rasa sayangmu pada kakak. Tapi kakak memang
sudah gila semenjak kehilangan Mas Bima. Entah kenapa ketika malam datang dan
aku tertidur ada sesuatu yang berbeda. Aku bermimpi Mas Bima datang kepadaku,
ia seperti akan mengucapkan sesuatu. Tapi sayangnya aku terlanjur bangun tanpa
tau apa yang ingin ia ucapkan. Begitu melihat kalender aku baru ingat bahwa
hari ini adalah tepat satu tahun kepergianmu. Tanggal 1 September.
Tidak seperti biasa aku bersiap lebih awal ke makammu. Ibu tidak
mencegahku seperti dulu saat awal-awal aku masih pertama kali melakukan
kebiasaan ini. ibu dulu akan menangis dan berputus asa karena melihatk aku yang
seperti orang gila. “Biar ibu antar ya nak, ibu juga ingin mengunjungi makam
Bima” kata ibu.
Kami pergi bersama menuju makammu dan membeli bunga. Sampai di sana
aku melihat ada kedua orang tuamu dan kakak perempuanmu. Mereka menyambut kami
dan bahkan ibumu memelukku. Kami berdoa dan membacakan Yasin berharap semoga
engkau dilapangkan di alam kubur.
“Apakah Ratih masih tidak mau bicara?” Ayahmu bertanya seperti itu
pada ibuku. Itu pasti karena ia khawatir.
Ibu menggeleng perlahan. Ada air mata yang tertahan di matanya. Kak
Farida bahkan berkali-kali mengusap punggung ibuku. Ketika keluargamu akan
pergi, aku hanya memangdang mereka tanpa ekspresi. Aku rasa aku telah lupa
bagaimana vcaranya berekspresi tanpa mu. Tadi aku masih bisa mendengar kak
Farida dan ibuku bercerita tentang bagaimana ceria dan semangatnya diriku dulu.
Sekarang aku bahkan bagaikan mayat hidup.
“Nak sudah sore, ayo kita pulang” bukuk ibu.
Aku masih ingin di sini bu. Menghabiskan waktu lebih banyak
denganmu. Sampai sepuluh menit ibu masih berusaha membujukku. Tapi aku tetap
diam dan terus duduk. Akhirnya ibu menyerah juga dan pergi meninggalkanku. Aku
kini sendirian disini. Aku masih memikirkan mimpi malam tadi. Aku rasa kau
ingin mengajakku pergi bersamamu. Iya kan? Apakah kau kesepian di alam sana?
tanpa terasa lagi-lagi aku naik angkutan umu dan sampai di halte bis itu.
Langit sore ini tampak mendung. Entah aku berhalusinasi atau tidak,
tapi aku merasa melihatmu di seberang jalan. Aku masih tersiam memandang
bayanganmu yang melambaikan tangan padaku. Sepertinya kau ingin melarangku
melakukan sesuatu. Tapi terlambat aku sudah memutuskan untu menyusulmu hari
ini, kau harus menjemputku. Seiring dengan keputusanku, kau memalingkan wajahmu
dariku dan pergi dengan marah. Kenapa?! Aku harus mengejarmu dan bertanya
mengapa kau marah padaku.
Aku tidak tahu bagaimana, tapi ternyata aku sudah berdiri di tengah
jalan raya. Orang mulai ribut karenaku. Dan detik berikutnya yang ku ingat
adalah suara klakson mobil dan seorang laki-laki yang menerjangku. Kemudian
semua kosong. Salam kekosongan yang gelap itu aku berdiri sendirian dan hanya
ada satu cahaya yang datangdari tubuhmu. Setiap kali ku coba untuk mendekat kau
akan semakin menjauh meninggalkanku dalam kegelapan. Dan akhirnya kau pun
bersuara.
“Orang yang bunuh diri dan berputus asa hanya akan di benci oleh
tuhan, hiduplah dengan baik dan melangkahlah keluar dari kegelapan ini”
Entah ini nyata atau tidak. Tapi aku sangat paham apa yang ingin
kau katakan. Kau ingin aku melangkah keluar dari keterpurukanku karena
kehilanganmukan? Aku tidak bisa! “AKU TIDAK BISA!”. Meski rasanya aku telah
berteriak sekuat tenaga kau tetap mengacuhkanku.
Detik berikutnya aku bisa mendengar suara ibu dan Sinta yang
memanggil-manggilku. Begitu ku buka mata, aku bisa melihat mereka berdua di
sisi tempat tidurku. Mata mereka sembab karena ku. Menit berikutnya ayah masuk
dengan membawa seorang dokter dan memeriksaku. Semua terjadi begitu cepat dan
setelah dokter pergi suasana kamar kembali hening.
“Kakak sadar dengan apa yang kakak lakukan?!” Sinta memecah keheningan
dengan membentakku. “Apa kakak hanya menyayangi Mas Bima seorang dan sama
sekali tidak memperdulikan kami? Kakak tidak sayang kami?”
Aku hanya terdiam mendengarnya.
“Kakak benci pada kami hingga kakak ingin sekali meninggalkan kami
hah?!” dia mulai menangis dan semakin marah.
“Sinta hentikan! Kakakmu baru sadar!” ibu juga ikut menangis dan
mencoba menenangkan Sinta.
“Tidak bu, kakak harus dimarahi sekarang! Kalau tidak dia tidak
akan pernah sadar!”
“Sinta!” kali ini ayah yang membentak Sinta.
Sinta terdiam memandang ayah dan ibu dan kemudian memandangku lagi,
“Kakak hanya memperdulikan mas Bima. Memangnya kakak pernah perduli bagaimana
sedihnya ibu di rumah saat kakak seperti ini. bagaimana ayah berkali-kali
diam-diam menangis karena khawatir pada kondisi kakak. Bagaimana aku
berkali-kali berusaha menyembukan kakak. Mungkin nanti kalau aku yang mati
kakak tidak akan sadar sama sekali karena hanya perduli pada Mas Bima!”
Ya, sepertinya aku memang sudah lupa bagaimanan tawa ibu padaku.
Bagaimanan lelucon ayah yang membuat suasana hangat dan bagaimanan Sinta
bermanja-manja padaku. Aku telah lupa bahwa aku masih memiliki orang-orang yang
sangat menyayangiku disini.
“memang kakak tidak pernah berfikir bagaimana kalau nanti kakak
mati. Apakah ibu akan kuat? Apakah aku bisa bertahan? Apa kakak fikir dunia ini
hanya miliki kakak dan Mas Bima saja?” ia melanjutkan ceramahnya. Perlahan air
mataku turun. Ini adalah ekspresi prtamaku sejak kematian Mas Bima. Aku telah
melupakan keberadaan orang-orang di sekelilingku.
“Sekarang bahkan kakak telah ikut melukai orang yang tidak
bersalah. Kakak tidak ada bedanya dengan laki-laki mabuk yang menabrak mas
bima. Kakak juga mencelakakan orang lain!”
“Sinta!” Plak ayah yang hilang kesabaran karena kata-kata
Sinta marah dan menamparnya.
Lama mereka saling berpandangan. Ayah menunjukan sorot mata
penyesalan karena ketidak sengajaannya sedankan Sinta menunjukan kemarahannya.
Ia berteriak ke arah Ayah dan berkata bahwa ia tidak salah dan pergi dari
kamarku. Ibu segera menyusulku keluar. Sedangkan ayah hanya terdiam dan duduk
di sofa dalam kamar.
Aku memang bersalah seperti kata-kata Sinta. Laki-laki yang
menolongku itu adalah laki-laki yang sama yang selalu menemaniku di halte. Aku
sempat mengingat wajahnya. Dia menolongku tapi aku yang buta dan tidak bisa
melihat ketulusannya. Apakah ia akan memaafkanku? Seharusnya ia marah. Dan
pasti akan sangat membenciku.
“laki-laki itu...” aju bersuara lirih sambil melihat ke arah
langit-langit kamar.
Ayah terkejut dan segera menghampiriku. “Ada apa sayang? Apa yang
kamu rasakan?”
“Laki-laki itu... apa... lukanya, parah?” tanya ku.
Ayah terdiam. Sepertinya ayah tidak ingin menjawabku. “Tolong
jawab... ayah” pintaku.
“Ibu!” Ayah tidak menjawabku dan justru memanggil ibu masuk
kedalam.
Begitu ibu datang, ibu langsung memelukku dengan gembira. “akhirnya
kamu bicara nak! Ibu sangat senang. Apa yang kami inginkan? Kamu lapar? Ada
yang sakit?”
“Aku bertanya bu... apa laki-laki itu... terluka parah? Bawa aku
padanya.. sekarang juga bu!”
Akhirnya setelah memaksa, ayah dan ibu membawaku menemui laki-laki
itu. aku melihatnya berbaring di ranjang. Baru kali ini aku memperhatikan
dirinya secara benar-benar. Dan aku sangat menyesali kelumpuhannya. Aku
mengucapkan kata maaf dan penyesalanku tapi laki-laki itu justru menghiburku di
dalam keputus asaannya sendiri. Ia bilang “Hiduplah baik-baik dan hargai hidup
kedua anda!”. Aku seperti menemukan diriku sendiri yang hilang saat mendengar
kalimatnya. Apakah kau percaya bahwa kelahirannya kembali itu ada? Nyatanya
sekarang kau telah lahur kembali setelah sekian lama aku mengalami mati suri.
Aku menemukan cahaya hidupku kembali. Dan aku menemukan semangatku kembali.
~~~###~~~
Luka fisikku telah sembuh sepenuhnya dalam tiga bulan setelah
kecelakaan. Tapi aku masih sering bolak-balik ke rumah sakit. Aku mengantar
Rama untuk merehab kakinya. Sudah ada kemajuan sedikit dari kedua kakinya
karena ia sudah bisa berdiri selama beberapa menit. Biaya rumah sakit Rama 50
persennya memakai uang tabungan gabunganku dengan Mas Bima. Tabungan yang
tadinya kan ku gunakan untuk biaya pernikahanku. Aku yakin Mas Bima tidak akan
marah jika aku menggunakannya. Ayah dan ibu Mas Bima pun mengizinkannya.
“Jangan pernah datang ke makam Bima lagi, Ratih. Kamu janji ya sama
ibu.” Kata ibu mas Bima.
Aku sempat berfikir ibumu marah padaku. Ternyata bukan, ia berkata
seperti itu untuk kebaikanku. Agar aku tidak kembali mengingat-ingat kamu dan
tidak depresi lagi seperti dulu. Dan aku menyanggupinya Mas Bima. Aku akan
mencoba move on dari semua kegelapan ini.
Banyak hal yang aku syukuri dalam hidupku setelah kecelakaan itu.
aku jadi bisa melihat dunia dengan mata yang terbuka lebar. aku kembali mencari
pekerjaan dan aku kembali berekspresi. Suatu sore sepulang dari terapi,
Rama mengajakku ke sebuah Cafe kesukaannya. Dan kami mengobrol banyak di sana
tentang hal-hal umum. Ku akui aku telah semakin dekat dengannya.
Kemudian ia merubah topik pembicaraan, “Kamu sadarkan selama ini
aku menyukaimu” katanya secara langsung. “Aku tahu, kamu masih menyimpan
perasaanmu untuk Bima. Dan aku juga bukan laki-laki sempurna seperti dulu. Tapi
aku akan menunggumu untuk menerimaku”
Ia kemudian memutar kursi rodanya dan mengajakku pergi, “Haahh
sudah hampir malam Ratih, kita pulang yuk”
Aku bahkan belum sempat menjawabnya saat ia mulai meniggalkanku.
Bahkan di mobil ia tidak berkata apa-apa sampai kami tiba di rumahnya. Aku
sendiri tidak tahu harus menjawab apa... aku tidak tahu. Di sisi lain aku butuh
waktu untuk menyembuhkan perasaanku. Dan disisi lain aku memang membutuhkan
orang lain di hatiku. Tapi tidak untuk sekarang....
~~~Tamat~~~